Pages - Menu

Laman

Minggu, 18 September 2011

Ahmadiyah dalam simpul-simpul kekerasan struktural


AHMADIYAH; DALAM SIMPUL-SIMPUL KEKERASAN STRUKTURAL
Kekerasan itu merupakan tindakan dan pekerjaan mengganggu fisik dan psikis, psikologis seseorang. Jadi, diskriminasi, marginalisasi, rasisme, ke (pe)miskinan, kelaparan, eksploitasi merupakan wajah lain dari kekerasan.
Secara definitif-simplisistik kekerasan selalu dimanifestasikan dalam bentuk tindakan pembunuhan, peperangan, merusak, melukai dan juga membuat kekacauan melakukan teror dan pengerusakan. Padahal kekerasan itu sangat bervariasi bentuknya. Fenomena yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan ini sangat banyak jumlahnya. Kekerasan itu merupakan tindakan dan pekerjaan mengganggu fisik dan psikis, psikologis seseorang. Jadi, diskriminasi, marginalisasi, rasisme, ke (pe) miskinan, kelaparan, eksploitasi merupakan wajah lain dari kekerasan.
Melihat tingginya intensitas kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini membuat kita miris dan sering mengerutkan dahi. Tidak hanya teroris, penjahat, perampok, majikan atau pembunuh bayaran yang identik dengan kekerasan. Tapi seorang pejabat, ulama, intelektual, dan juga anak kecil, orang dewasa, orang tua atau nenek kita, bahkan anggota badan kita sendiri semua berpotensi untuk melakukan kekerasan. Motif yang melatar belakanginya pun berbeda-beda. Sosial-ekonomi-politik-ideologi saling tumpang tindih dalam menupang terjadinya ritme dan panorama kekerasan yang ada.
Dalam ruang yang relatif amanpun seperti Rumah, Istana, Masjid, Gereja, penjara dan ditempat-tempat aman lainnya, kekerasan itu selalu berpotensi untuk menyapa dan mengisi ruang interaksi antar sesama. Kekerasan itu ada dan datang dari /di manapun dia akan muncul (omnipresent) begitulah Foucault menyebutnya.
Bumi pertiwi ini kaya dengan kekerasan. Perlahan tapi pasti, "budaya kekerasan" terus berkembangbiak entah dalam bentuk tindakan pengrusakan (destructiveness) atau dalam bentuk kekerasan (violence). Ironisnya, hal ini menjadi kebenaran legimitatif dalam kehidupan masyarakat kita.
Di tahun ini saja kekerasan sudah terjadi berulang kali dengan motif dan modus yang berbeda-beda. Penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Pandegelang Banten, penyerangan pondok pesantren di pasuruan Jawa timur dan bom buku di Jakarta serta penggusuran pedagang kaki lima (PKL) serta penyiksaan dan bunuh diri yang dialami TKI dan warga miskin lainnya merupakan sekelumit kekerasan yang menjadi catatan hitam dari lembaran demokrasi dinegeri ini.  
SKB vs Ahmadiyah
Di satu sisi “negara” (pemerintah) telah melakukan kekerasan yang oleh Johan Galtung dalam tipologi segitiga kekerasannya disebut sebagai kekerasan struktural (structural violence) atau dalam kategorisasi kekerasan yang lain disebut kekerasan represif terhadap warganya. Negara telah menggoreskan tinta ketidakadilan regulatif-sistemik dengan terus melakukan eksploitasi-diskriminasi dan marginalisasi terhadap kelompok minoritas. Hak-hak sipil warga negara seperti hak kebebasan beragama, berpikir, berekspresi dan hak diperlakukan sama didepan hukum telah dirampas oleh negara dengan regulasi dan kebijakan yang timpang.
Adanya struktur yang eksploitatif menupang sustanaibilitas "budaya kekerasan" di tengah masyarakat. Meminjam istilah Amien Rais, masyarakat ibarat rumput kering yang akan terbakar sendiri, tanpa atau dengan keterlibatan aksi para avonturir politik dalam menyulut apinya. Hal ini terjadi karena struktur ekonomi, sosial, politik dan agama yang timpang rentan menyimpan ketidakpuasan-ketidakpuasan. Semakin lama rasa tidak puas itu ditahan dan dipendam dan tidak menemukan katalisatornya, maka, bukan mustahil rakyat akan menyalurkannya menurut cara dan bahasanya sendiri.
 Surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri dan Peraturan Pemerintah Daerah (PERDA) Gubernur yang memuat larangan terhadap segala aktivitas Ahmadiyah adalah salah satu contoh nyata dari kekerasan sistemik yang dilakukan oleh negara terhadap minoritas warganya. Kekerasan seperti inilah yang lebih berbahaya dan lebih kejam dari pada kekerasan secara fisik, karena model kekerasan seperti ini merupakan cikal bakal dan akar munculnya kekerasan fisik. Selain itu, kebutuhan dasar manusia (human needs) seperti kedamaian, ketenangan, keamanan yang ada dalam spritualitas agama sulit diakses dan tidak bisa dinikmati akibat dari “pseudo” kekerasan ini.
Menurut hemat penulis SKB dan PERDA Gubernur tentang pelarangan aktivitas Ahmadiyah merupakan bentuk kekerasan subtantif-abstraktif yang akan terus menerus menggejala dan berpotensi memantik munculnya tipologi-tipologi kekerasan lainnya. Disamping itu, solusi seperti ini bukanlah win-win solution karena masih ada orang atau kelompok yang dirugikan.
Jika saja Michael Foucault (1926-1984), salah satu filosof Perancis abad ke 20 yang dikenal sebagai pemikir postmodernisme atau post strukturalis masih hidup dan berada di Indonesia serta melihat penjinakan yang dilakukan oleh negara terhadap Ahmadiyah, pasti dia akan memasukkan fenomena pelarangan ini sebagai sampel untuk memperkuat analisisnya dalam membuat bukunya yang berjudul Disipiline and Punish: The Birth Of The Prison (1977). Dalam analisisnya tersebut dia mengatakan bahwa terjadi pergeseran pemberian hukuman yang merupakan salah satu praktek penjinakan penguasaan terhadap tubuh (docile body), pemikiran dan pengetahuan dari yang bersifat konkret ke ruang yang lebih abstrak.
 Dalam perspektif Foucault kasus SKB dan PERDA vs Ahmadiyah, negara tidak lagi menyiksa dan menyentuh tubuh sebagai balasan dari pelanggaran seseorang, melainkan bersifat mendisiplinkan dan melakukan pengawasan (survelence) melalui penyegelan dan pengkondisian tempat-tempat ibadah yang ada hubungannnya dengan Ahmadiyah. Bukankah ini lebih kejam! Tidakkah ini melanggar titah Undang-Undang Dasar yang mengamanatkan untuk memberi kebebasan dan melindungi setiap warganya dari hal-hal yang berpotensi merampas hak-hak mereka sebagai warga yang wajib dilindungi.
Nampaknya, apa yang dikatakan oleh Darwin “survival of the fittest” (yang terkuatlah yang akan hidup) dan apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) menemukan relevansinya dalam fenomena penyerangan dan larangan terhadap aktivitas Ahmadiyah yang dilakukan oleh kelompok dominan-mayoritas.
Di samping itu, kasus Ahmadiyah menunjukan bahwa amanat UUD, PANCASILA, dan titah Burung Garuda dengan pesan agungnya BHINNEKA TUNGGAL IKA sebagai ruh bangsa telah diabaikan dan kehilangan kesaktian dan sakralitasnya.

Sadar Kekerasan
Walaupun setiap manusia menyimpan potensi kekerasan. Bukan berarti tindakan kekerasan itu diamini dan dibenarkan oleh nilai-nilai kemanusiaan. Kita hanya kalah dengan kepentingan sesaat yang selalu datang tak diundang. Kekerasan demi kekerasan yang merambah di(ke)seluruh negeri nampaknya sudah menjadi sebuah banalitas yang dianggap biasa dan sah dilakukan oleh siapa saja. Jika saja mindset seperti ini terus berkembang maka bukan sebuah kemustahilan jika bangsa ini akan bubar diterpa tsunami kekerasan yang menghantam seluruh negeri. Dan kita akan selalu disuguhi oleh bau amis darah saudara-saudara kita sendiri.
Oleh karena itu, pemerintah dan para kaum elit lainnya harus menyadari bahwa mereka sedang memproduksi dan mengarsiteki terjadinya kekerasan-kekerasan dinegeri ini dengan berbagai kebijakannya. Salah satunya dengan peraturan pelarangan Ahmadiyah. Di samping itu, seluruh anak bangsa ini harus mempunyai kesadaran dan sikap proaktif untuk memutus spiral kekerasan dalam bentuk apapun. Salam Perdamaian!

Oleh: Siful Arifin
Penulis adalah alumni Tarbiyah (PAI) IAIN Surabaya, sekarang penghuni pondok kajian “komunal” Sampang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar