POLITISASI KONSTITUSI
Pada Sabtu dini hari, di ujung
bulan Maret yang lalu. Tepatnya, pada 31 maret 2012 pimpinan DPR-RI mengetuk
palu sebagai simbol disahkannya ayat baru. Yakni pasal 7 ayat (6a) yang mengatur
tentang prosedur atau langkah-langkah kenaikan BBM ditinjau dari aspek konstitusi.
Selain itu, rapat paripurna tersebut menghasilkan putusan bahwa kenaikan BBM
tidak akan terjadi pada 01 april 2012. Namun demikian, harga BBM akan dinaikkan
oleh pemerintah jika harga Indonesia Crude Oil (ICP) secara rata-rata mencapai
15% dari asumsi awal 95 dollar AS per barrel pada enam bulan terakhir dihitung
mundur ke belakang.
Rapat
paripurna pada saat itu berlangsung alot dan penuh kemelut. Fraksi PDI-P dan Fraksi
Partai Hanura melakukan walk out dari rapat, karena menganggap suasana rapat
sudah tidak steril dari kepentingan politik golongan.
Pro kontra
tentang kenaikan BBM terus saja menggema mengiringi perjalanan rapat. Waktu jeda
pun seringkali dilakukan untuk melakukan lobi-lobi agar perjalanan rapat tidak
deadlock dan bisa menghasilkan keputusan yang bisa diterima oleh semua pihak.
Fraksi-fraksi
partai politik di DPR-RI pun terpecah belah menjadi dua kubu. Yakni, kubu koalisi
dan oposisi. Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi
PAN, dan Fraksi PKB sama-sama berada di garis koalisi yang mendukung kenaikan BBM.
Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mitra koalisi yang menolak adanya
kenaikan BBM.
Sementara itu,
Fraksi PDI-P, Fraksi Gerindra, Fraksi Hanura sebagai kelompok oposisi dan
ditambah Fraksi PKS sebagai satu-satunya partai koalisi yang berseberangan
tetap konsisten menolak kenaikan BBM, sekaligus juga menolak disahkannya pasal 7
ayat 6 (a). Dalam pandangan kelompok oposisi, pasal baru tersebut bertentangan
dengan ayat sebelumnya dan sangat berpotensi untuk memberi ruang terhadap adanya
kenaikan BBM. Dengan demikian, kelompok yang menolak kenaikan BBM ini tetap
berpegang teguh pada pasal 7 ayat 6 yang menyatakan harga BBM bersubsidi tidak
boleh dinaikkan.
Politik
Ketergantungan
Jika diamati
dengan cermat maka, keluarnya pasal 7 ayat 6 (a) tersebut merupakan opsi yang
diajukan oleh partai Golkar. Pada hari-H sebelum rapat paripurna digelar melalui
ketua umumnya partai bergambar pohon beringin tersebut menyatakan menolak rencana
pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Namun pada detik-detik terakhir
pengambilan keputusan, Golkar mendukung kenaikan harga BBM dengan syarat
sebagaimana yang diusulkan oleh Fraksi
Partai Golkar yang kemudian menjadi isi penambahan ayat baru tersebut.
Disinilah kepiawaian
para politisi partai Golkar terlihat. Sebagai partai yang
sudah kenyang pengalaman, Partai Golkar mampu menyetir kebijakan pemerintah. Disatu sisi, partai
Golkar tidak ingin kehilangan simpati publik namun disisi lain Golkar juga
tidak ingin kehilangan kompensasi menteri.
Diakui atau
tidak, suara partai Golkar pada rapat paripurna yang membahas kenaikan BBM tersebut
merupakan penentu kebijakan. Seandainya partai Golkar tetap konsisten untuk
menolak kenaikan BBM tanpa syarat maka sangat besar kemungkinan peta politik
hari ini akan berbeda.
Sementara itu,
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang secara berani berseberangan dengan pemerintah
mendapat kecaman bahkan ancaman dari mitra koalisi lainnya. PKS santer
diberitakan akan dikeluarkan dari koalisi.
Gertakan yang
semacam ini sebenarnya menunjukan bahwa pemerintahan saat ini sangat lemah, mudah
dikontrol dan penuh ketergantungan pada kekuasaan partai politik. Ini sangat
berbahaya bagi eksistensi dan keberlanjutan pemerintahan SBY-Bodieono. Jika hal
ini tidak disadari dan tidak diperbaiki maka mustahil kiranya pemerintahan
sekarang ini menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.
Rapuhnya Konstitusi
Kita
Ditambahkannya
pasal 7 ayat 6 (a) yang mengatur tentang kenaikan BBM tersebut secara subtansi
maupun secara redaksi jelas bertentangan dengan pasal yang sudah ada
sebelumnya. Bagaimana tidak, pasal 7 ayat 6 mengatur bahwa BBM tidak boleh naik.
Isi ayat ini seakan tidak berarti dengan dikeluarkan pasal 7 ayat 6 (a) yang
mengatur adanya kenaikan BBM bersyarat.
Disahkannya pasal
7 ayat 6 (a) sebagai pasal baru, menunjukan adanya pelanggaran konstitusi yang
dilakukan oleh pembuat konstitusi itu sendiri. DPR sebagai pembuat
undang-undang telah melakukan suatu tindakan yang bersifat contradixtio in termenes
(peraturan di
bawahnya bertentangan dengan peraturan di atasnya atau sebelumnya). Suatu
tindakan yang ir-rasional dan inkonstitusional.
Dengan demikian, bukanlah sesuatu
yang aneh jika ada sebagian ahli hukum yang
ingin mengajukan judicial review atas
Pasal 7 ayat (6a) tersebut ke mahkamah konstitusi. Karena sangat jelas,
penambahan ayat baru tersebut bertentangan dengan konstitusi atau peraturan
yang sudah ada dan sangat berbau politis.
Jika
konstitusi kita dibuat hanya berdasarkan suara terbanyak hasil voting dan
mengabaikan peraturan konstitusi sebelumnya, masih perlukah kita berpedoman
pada undang-undang dan pasal-pasal yang dibuat atas nama konspirasi politik
tersebut. Apalagi, sangat jelas bahwa peraturan baru tersebut sangat bertolak
belakang dengan keinginan rakyat yang menginginkan BBM tidak naik.
Pembuatan
pasal-pasal yang tidak populis tersebut dapat menjadi potret bagaimana kinerja
para legislatif kita. Tidak salah memang, apa yang difatwakan oleh beberapa
pengamat bahwa telah sering terjadi politik dagang sapi atau telah terjadi jual
beli pasal dalam setiap etape pemerintahan di negeri ini.
Melihat
fenomena pembuatan undang-undang seperti dicontohkan di atas, tidak heran
kiranya jika akhir-akhir ini, banyak peraturan perundang-undangan yang roboh
ketika dilakukan judicial review oleh beberapa pakar hukum kita. Hal ini
tidak terlepas karena fondasi yang dijadikan pijakan dalam membuat
undang-undang itu sendiri juga sangat rapuh dan keropos.
(terbit di
HOKI 12 April 2012)
Oleh: Siful Arifin, alumnus pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar