Selasa, 27 Agustus 2013



 KORUPSI DAN DEKONSTRUKSI  SISTEM BIROKRASI
 Oleh: Siful Arifin


Korupsi tidak akan pernah mati. Ia akan tetap abadi dan akan terus menggejala seriiring dengan denyut nadi manusia. Secara historis, korupsi dikenal oleh manusia semenjak ia mengenal relasi sosial yang berbasis uang dan alat tukar barang dari situlah korupsi mulai ditemukan. Perbedaanya dengan korupsi zaman sekarang mungkin hanya  kadar dan modusnya.
Dalam konteks Indonesia, korupsi bukan sesuatu yang baru. Jika memakai bahasa jurnalistik dalam melihat objek berita, korupsi bukan lagi peristiwa bukan juga kasus tapi sudah menjadi fenomena. Korupsi ada dimana-mana (omnipresence). Korupsi tumbuh dan berkembang dalam skala yang luas. Hampir di setiap sistem institusi dan birokrasi, tindakan a-moral ini dapat ditemukan baik dalam sistem politik, sosial, dan ekonomi.
Korupsi dan saudara kandungnya yang lain, kolusi dan nepotisme yang lebih dikenal dengan istilah KKN sudah mendarah daging dan menjadi banalitas yang dianggap biasa jika tidak ingin mengatakan KKN sudah menjadi tradisi dan budaya yang berurat-akar di negeri ini. Jadi, sangat wajar jika korupsi sulit dihilangkan. Korupsi seakan menjadi “karya kolektif” anak bangsa yang berlangsung secara sistematis mulai dari lapisan teratas sampai lapisan paling bawah. Siapa yang tidak kenal dengan istilah korupsi. Semua orang tahu korupsi ada dan terjadi dimana-mana dalam skala yang besar, tapi kita selalu kesulitan mencari bukti dan definisinya, kita seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Ketika orde baru di bawah komando Soeharto tumbang. Harapan akan lenyapnya korupsi dari bumi pertiwi sangat didamba-dambakan oleh setiap orang. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Korupsi semakin menggurita dan sulit dicari ujung pangkalnya. "Patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu" mungkin inilah pepatah yang cocok untuk menggambarkan korupsi yang sudah menjadi budaya dan menjadi “warisan” turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Perilaku korupsi sudah mengendap di lubuk kesadaran yang paling dalam. Korupsi sudah menguasai setiap dimensi kehidupan masyarakat di negeri ini. Layaknya sel kanker ganas karena akarnya yang sudah meluas, maka semakin dibabat semakin cepat penyebarannya.
Bukan hanya terjadi dalam birokrasi negara, tapi korupsi juga terjadi di lembaga-lembaga swasta bahkan juga sudah menjangkiti seluruh lapisan masyarakat kita. Sebuah kondisi yang sangat mengenaskan.
Korupsi tidak hanya  bermakna mengambil uang negara tapi korupsi juga bisa bermakna dan bermula dari perilaku koruptif yang cenderung kurang dipahami. Korupsi bisa berbentuk korupsi waktu, korupsi jabatan, korupsi kepercayaan, ataupun korupsi keimanan kepada Tuhan. Pada dasarnya, korupsi adalah perbuatan dhalim, perbuatan yang dilakukan atas dorongan hawa nafsu dan kosong dari nilai-nilai keimanan.
Dekonstruksi Sistem Birokrasi
Niat baik untuk memberantas korupsi nampaknya sulit diwujudkan. Tanpa mengurangi rasa hormat dan optimisme terhadap usaha yang dilakukan pemerintah, namun kita perlu mempertimbangkan dan merenungkan kembali di mana virus yang belabel korupsi itu sebenarnya bersemedi dan bermuara?. Sistem demokrasi di negeri ini yang membagi kekuasaan menjadi eksekutif, yudikatif dan legislatif nampaknya merupakan area tumbuh suburnya penyakit sosial ini.
Jika disegmentasikan maka eksekutif adalah sarang korupsi, yudikatif merupakan gudangnya dan legislatif adalah gerbongnya. Artinya, para pelaku dan pemberantas korupsi itu adalah orang yang sama atau hidup dalam ruang yang sama sehingga mereka sulit untuk mengidentifikasi siapa diri mereka sebenarnya. Jika demikian yang terjadi mungkinkah korupsi itu dapat diberantas? tanpa melakukan dekonstruksi terhadap proses dan format birokrasi kenegaraan seperti itu.
Dekonstruksi sendiri dalam perspektif Derrida (Haryatmoko, Basis 11-12, 2007), berarti pembebasan. Dalam bahasa penulis kaitannya dengan pembahasan ini dekonstruksi diartikan sebagai usaha pembenahan terhadap sesuatu yang sudah dianggap mapan atau lumrah. Dengan upaya dekonstruksi ini maka diharapkan ada perubahan yang lebih baik dibandingkan keadaan sebelumnya.
Tanpa bermaksud ingin menanamkan pesimisme, tapi pertanyaan ini selalu hadir. Sampai kapankah upaya pemberantasan korupsi ini hanya seperti tong kosong nyaring bunyinya?. Semua berteriak anti korupsi dan berantas korupsi sampai keakar-keakarnya tapi sampai saat ini hasilnya nihil. Maling teriak maling sehingga kita sulit menangkap maling yang sebenarnya. Kita sepertinya selalu terperosok dalam sumur tanpa dasar yang tidak pernah dapat menyentuh landasannya dengan tepat dan benar.
Jika ditelesuri kebanyakan pelaku korupsi adalah mereka yang ada di kursi birokrasi dari tingkat teratas sampai birokrasi terbawah. Pertanyaannya adalah  kenapa hal ini terjadi? Dan seakan sudah menjadi kebiasaan bahkan sudah berada pada level kewajaran.
Proses awal terpilihnya seseorang menjadi birokrat nampaknya menjadi cikal bakal perilaku korupsi itu terjadi. Sudah lazim di negeri ini, untuk menduduki kursi legislatif, yudikatif dan eksekutif  bahkan menjadi pegawai tingkat terendah sekalipun maka seseorang harus menyiapkan dana awal yang tidak sedikit. Dengan alasan karena telah mengeluarkan uang dengan jumlah yang besar tersebut maka kembali modal adalah kata kuncinya. Mengikis kebiasaan memilih atau dipilih karena uang ini merupakan kunci menuju masyarakat yang bersih dari korupsi.
Gaji yang “sedikit” dan tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan para kaum elit seperti sekarang ini juga melatarbelakangi terjadinya korupsi. Mereka tidak segan untuk memakai jalan instan seperi korupsi sebagai cara yang mujarab dan paling ampuh untuk menambal uang yang terkuras.
Sebenarnya gaji yang diterima oleh para pegawai negara ini sudah di atas rata-rata dibandingkan dengan penghasilan kebanyakan masyarakat di negeri ini. Hanya saja, gaya hidup hedonis-konsumeris para birokrasi kita perlu dikurangi atau memakai bahasa dalam tulisan ini perlu didekonstruksi.
Selain itu, formasi birokrasi yang terlalu gemuk dan tidak produktif juga menjadi pemicu seseorang menjadi koruptor. Aliran dana yang memakai sistem terminal juga sangat berpotensi terjadinya korupsi. Seperti air yang dialirkan dari satu timba ke timba yang lain dengan memakai selang maka air tersebut akan berkurang karena sedikit demi sedikit menempel di setiap tepi selang tersebut. Begitu juga aliran dana yang memakai sistem terminal.
Jual beli pasal dan tukar guling kepentingan dalam ruang-ruang kerja merupakan wajah lain dari birokrasi dan parlemen. Komunitas parlemen yang banyak dihuni oleh beberapa konglemarat dari golongan pemodal dan pebisnis juga sering menyalip kepentingan rakyat yang sering kali dipinggirkan. Yang paling parah adalah kebijakan pemerintah yang seringkali mengganti suara rakyat dengan suara para investor.
Melihat kondisi birokrasi seperti sekarang ini maka sulit rasanya negara ini akan bebas dari penyakit korupsi. Untuk itu, sudah saatnya kita melakukan dekonstruksi terhadap proses dan formasi sistem birokrasi dengan melakukan transparansi perekrutan, pengangkatan atau terhadap proses dan cara kerja birokrasi itu sendiri. Jika tidak, maka sebenarnya kita sedang membiarkan negeri ini bangkrut dan punah akibat perilaku anak bangsanya sendiri terutama mereka yang ada dalam lingkar setan kekuasan. (terbit di media online harian online kabar indonesia)
Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya dan salah satu pendiri komunitas intelektual (Komunal) Surabaya

0 komentar:

Posting Komentar

SI PAUL'S LIBRARY

Foto saya
Sampang, Jawa timur, Indonesia
Seorang manusia yang akan terus belajar di kampus kehidupan tanpa batas waktu kecuali tuhan sudah merindukan

Categories

Laman

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Recent Posts

Popular Posts

Arsip