KORUPSI DAN DEKONSTRUKSI SISTEM
BIROKRASI
Oleh: Siful Arifin
Korupsi tidak akan pernah mati. Ia akan tetap abadi dan akan terus
menggejala seriiring dengan denyut nadi manusia. Secara historis, korupsi
dikenal oleh manusia semenjak ia mengenal relasi sosial yang berbasis uang dan
alat tukar barang dari situlah korupsi mulai ditemukan. Perbedaanya dengan
korupsi zaman sekarang mungkin hanya
kadar dan modusnya.
Dalam konteks Indonesia, korupsi bukan sesuatu yang baru. Jika memakai
bahasa jurnalistik dalam melihat objek berita, korupsi bukan lagi peristiwa
bukan juga kasus tapi sudah menjadi fenomena. Korupsi ada dimana-mana (omnipresence).
Korupsi tumbuh dan berkembang dalam skala yang luas. Hampir di setiap sistem institusi
dan birokrasi, tindakan a-moral ini dapat ditemukan baik dalam sistem politik,
sosial, dan ekonomi.
Korupsi dan saudara kandungnya yang lain, kolusi dan nepotisme yang lebih
dikenal dengan istilah KKN sudah mendarah daging dan menjadi banalitas yang
dianggap biasa jika tidak ingin mengatakan KKN sudah menjadi tradisi dan budaya
yang berurat-akar di negeri ini. Jadi, sangat wajar jika korupsi sulit
dihilangkan. Korupsi seakan menjadi “karya kolektif” anak bangsa yang berlangsung
secara sistematis mulai dari lapisan teratas sampai lapisan paling bawah. Siapa
yang tidak kenal dengan istilah korupsi. Semua orang tahu korupsi ada dan terjadi
dimana-mana dalam skala yang besar, tapi kita selalu kesulitan mencari bukti
dan definisinya, kita seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Ketika orde baru di bawah komando Soeharto tumbang. Harapan akan lenyapnya
korupsi dari bumi pertiwi sangat didamba-dambakan oleh setiap orang. Tapi yang
terjadi malah sebaliknya. Korupsi semakin menggurita dan sulit dicari ujung
pangkalnya. "Patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh
seribu" mungkin inilah pepatah
yang cocok untuk menggambarkan korupsi yang sudah menjadi budaya dan menjadi
“warisan” turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Perilaku korupsi sudah
mengendap di lubuk kesadaran yang paling dalam. Korupsi sudah menguasai setiap
dimensi kehidupan masyarakat di negeri ini. Layaknya sel kanker ganas karena
akarnya yang sudah meluas, maka semakin dibabat semakin cepat penyebarannya.
Bukan hanya terjadi dalam birokrasi negara, tapi korupsi juga terjadi di lembaga-lembaga
swasta bahkan juga sudah menjangkiti seluruh lapisan masyarakat kita. Sebuah
kondisi yang sangat mengenaskan.
Korupsi tidak hanya bermakna mengambil
uang negara tapi korupsi juga bisa bermakna dan bermula dari perilaku koruptif
yang cenderung kurang dipahami. Korupsi bisa berbentuk korupsi waktu, korupsi
jabatan, korupsi kepercayaan, ataupun korupsi keimanan kepada Tuhan. Pada dasarnya,
korupsi adalah perbuatan dhalim, perbuatan yang dilakukan atas dorongan
hawa nafsu dan kosong dari nilai-nilai keimanan.
Dekonstruksi Sistem Birokrasi
Niat baik untuk memberantas korupsi nampaknya sulit diwujudkan. Tanpa
mengurangi rasa hormat dan optimisme terhadap usaha yang dilakukan pemerintah,
namun kita perlu mempertimbangkan dan merenungkan kembali di mana virus yang
belabel korupsi itu sebenarnya bersemedi dan bermuara?. Sistem demokrasi di negeri
ini yang membagi kekuasaan menjadi eksekutif, yudikatif dan legislatif
nampaknya merupakan area tumbuh suburnya penyakit sosial ini.
Jika disegmentasikan maka eksekutif adalah sarang korupsi, yudikatif merupakan
gudangnya dan legislatif adalah gerbongnya. Artinya, para pelaku dan
pemberantas korupsi itu adalah orang yang sama atau hidup dalam ruang yang sama
sehingga mereka sulit untuk mengidentifikasi siapa diri mereka sebenarnya. Jika
demikian yang terjadi mungkinkah korupsi itu dapat diberantas? tanpa melakukan
dekonstruksi terhadap proses dan format birokrasi kenegaraan seperti itu.
Dekonstruksi sendiri dalam perspektif Derrida (Haryatmoko, Basis 11-12,
2007), berarti pembebasan. Dalam bahasa penulis kaitannya dengan pembahasan ini
dekonstruksi diartikan sebagai usaha pembenahan terhadap sesuatu yang sudah
dianggap mapan atau lumrah. Dengan upaya dekonstruksi ini maka diharapkan ada
perubahan yang lebih baik dibandingkan keadaan sebelumnya.
Tanpa bermaksud ingin menanamkan pesimisme, tapi pertanyaan ini selalu
hadir. Sampai kapankah upaya pemberantasan korupsi ini hanya seperti tong
kosong nyaring bunyinya?. Semua berteriak anti korupsi dan berantas korupsi
sampai keakar-keakarnya tapi sampai saat ini hasilnya nihil. Maling teriak
maling sehingga kita sulit menangkap maling yang sebenarnya. Kita sepertinya
selalu terperosok dalam sumur tanpa dasar yang tidak pernah dapat menyentuh
landasannya dengan tepat dan benar.
Jika ditelesuri kebanyakan pelaku korupsi adalah mereka yang ada di kursi
birokrasi dari tingkat teratas sampai birokrasi terbawah. Pertanyaannya
adalah kenapa hal ini terjadi? Dan
seakan sudah menjadi kebiasaan bahkan sudah berada pada level kewajaran.
Proses awal terpilihnya seseorang menjadi birokrat nampaknya menjadi cikal
bakal perilaku korupsi itu terjadi. Sudah lazim di negeri ini, untuk menduduki
kursi legislatif, yudikatif dan eksekutif
bahkan menjadi pegawai tingkat terendah sekalipun maka seseorang harus
menyiapkan dana awal yang tidak sedikit. Dengan alasan karena telah
mengeluarkan uang dengan jumlah yang besar tersebut maka kembali modal adalah
kata kuncinya. Mengikis kebiasaan memilih atau dipilih karena uang ini
merupakan kunci menuju masyarakat yang bersih dari korupsi.
Gaji yang “sedikit” dan tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan para kaum
elit seperti sekarang ini juga melatarbelakangi terjadinya korupsi. Mereka tidak
segan untuk memakai jalan instan seperi korupsi sebagai cara yang mujarab dan
paling ampuh untuk menambal uang yang terkuras.
Sebenarnya gaji yang diterima oleh para pegawai negara ini sudah di atas
rata-rata dibandingkan dengan penghasilan kebanyakan masyarakat di negeri ini.
Hanya saja, gaya hidup hedonis-konsumeris para birokrasi kita perlu dikurangi
atau memakai bahasa dalam tulisan ini perlu didekonstruksi.
Selain itu, formasi birokrasi yang terlalu gemuk dan tidak produktif juga
menjadi pemicu seseorang menjadi koruptor. Aliran dana yang memakai sistem
terminal juga sangat berpotensi terjadinya korupsi. Seperti air yang dialirkan
dari satu timba ke timba yang lain dengan memakai selang maka air tersebut akan
berkurang karena sedikit demi sedikit menempel di setiap tepi selang tersebut.
Begitu juga aliran dana yang memakai sistem terminal.
Jual beli pasal dan tukar guling kepentingan dalam ruang-ruang kerja
merupakan wajah lain dari birokrasi dan parlemen. Komunitas parlemen yang
banyak dihuni oleh beberapa konglemarat dari golongan pemodal dan pebisnis juga
sering menyalip kepentingan rakyat yang sering kali dipinggirkan. Yang paling
parah adalah kebijakan pemerintah yang seringkali mengganti suara rakyat dengan
suara para investor.
Melihat kondisi birokrasi seperti sekarang ini maka sulit rasanya negara
ini akan bebas dari penyakit korupsi. Untuk itu, sudah saatnya kita melakukan
dekonstruksi terhadap proses dan formasi sistem birokrasi dengan melakukan
transparansi perekrutan, pengangkatan atau terhadap proses dan cara kerja
birokrasi itu sendiri. Jika tidak, maka sebenarnya kita sedang membiarkan
negeri ini bangkrut dan punah akibat perilaku anak bangsanya sendiri terutama
mereka yang ada dalam lingkar setan kekuasan. (terbit di media online harian
online kabar indonesia)
Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya dan salah
satu pendiri komunitas intelektual (Komunal) Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar