A.    PENDAHULUAN
Dalam disiplin keilmuan Islam, Ilmu Hadis memiliki posisi yang penting dan istimewa. Penting, karena dengan ilmu inilah otentisitas transmisi (periwayatan) materi-materi verbal dan visual yang berasal dari Rasulullah saw  diuji serta ditentukan. Rancang bangun metode ilmu ini memang tidak kita jumpai padanannya dalam tradisi-tradisi keilmuan lainnya di luar Islam. Ilmu hadith sangat penting untuk terus dikoreksi dan diverifikasi kebenaran dan keotentikannya, karena pembukuan dan periwayatannya yang masih dianggap mengandung hal kontroversial sehingga menjadi polemik yang berkepanjangan di kalangan peneliti hadith dan umat Islam sendiri.
Setelah Nabi Muhammad wafat, masyarakat muslim berada dalam kebingungan dan terancam akan mengalami dis-integrasi. terjadi kontroversi di kalangan umat islam tentang siapa yang  pantas menggantikan Rasulullah. Pada akhirnya sahabat abu bakar terpilih menjadi khalifah pertama, disusul kemudian oleh sahabat yang lain, Umar, Utsman, Ali dan diteruskan oleh dinasti-dinasti berikutnya sebagaimana dikenal dalam sejarah umat Islam klasik.
Pada masa khalifah pertama, Abu Bakar, banyak kalangan sahabat yang dianggap menyelewengkan ajaran nabi, memalsukan hadist-hadist sampai pada akhirnya ada yang divonis murtad. Oleh sebab itu pada masa abu bakar terjadi peperangan untuk memberantas kaum murtad. Setelah Abu Bakar wafat jabatan khalifah kemudian diganti oleh sahabat Umar–Usman-Ali-Umayyah-Abbasiyah dan seterusnya. Dalam sejarah Islam dijelaskan  bahwa pada masa-masa peralihan (transisi) dari sahabat ke-sahabat itu terjadi polemik dan kontroversi yang berkepanjangan sehingga di antara sahabat itu ada yang wafat karena dibunuh oleh sahabat yang lain atau orang suruhannya. Saling sikut kanan-kiri atas bawah di kalangan para sahabat itu di latarbelakangi oleh perebutan kekuasaan berikut akibat-akibatnya.
Menjadi pemimpin bagi suatu golongan merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi setiap orang, oleh karena itu, tidak sedikit yang sering berebut untuk mendapatkannya, dan setelah menjadi pemimpin tidak sedikit seorang pemimipin bertindak otoriter dan represif agar semua ucapan dan keinginannya tercapai dan diikuti oleh bawahannya. 
Dengan di latarbelakangi oleh peristiwa-peristiwa pasca nabi dan sedikit realita masa kini di atas, penulis ingin melacak salah satu hadist yang berkaitan dengan kepemimpinan atau kekuasaan, dengan asumsi awal bahwa ada beberapa hadist yang sering dijadikan dalil oleh berbagai pemimpin untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaannnya. Salah satu hadist  yang berkaitan dengan kepemimpinan yang akan ditakhrij oleh penulis adalah hadist yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad.
B.     TEKS HADIST
اخرجه احمد قال: حدتنا عبد الزاق حدثنا معمر اخبرانى الزهرى عن أبى سلمة أخبره، أنه سمع أبا هريرة يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله، ومن أطاع أميري فقد أطاعني، ومن عصى أميري فقد عصاني
Artinya: " Imam Ahmad mengeluarkan hadith dia berkata: menceritakan kepada kami Abd Razzak menceritakan kepada kami Ma’mar menceritakan kepada kami Al-Zuhri   dari Abi Salamah dia bercerita, sesungguhnya dia mendengar Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang taat kepadaku, maka ia telah mentaati Allah dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka ia telah bermaksiat pula kepada Allah dan barangsiapa yang mentaati amir - pemegang pemerintahan, maka ia benar-benar mentaati saya dan barangsiapa yang bermaksiat kepada amir, maka ia benar-benar bermaksiat kepada saya." 
C.     ANALISA SANAD DAN MATAN HADITH.
1.      Skema Sanad Hadist: Terlampir
2.      Biografi para perawi  hadith dari jalur Ahmad.
a.       Nama               : Abd Al-Rahman Ibn Sakhra (Abu Hurairah)
Julukan            : Abu Hurairah
Gelar               : Al-Hafidh
Guru                : Nabi Muhammad
Murid              : Abu Salamah
Lahir                : Madinah 13 SH
Wafat              : Madinah 57 H
Kritik sanad    : Sahabat Nabi
b.      Nama               : Abdullah Ibn Abdurrahman Ibn Auf
Julukan            : Abu Salamah
Gelar               : Al-Madani
Guru                : Abu Hurairah
Murid              : Abu Bakar
Lahir                : 32 H
Wafat              : 94 H
Kritik sanad    : menurut Muhammad Ibn Sa’ad dan Abu Zur’ah ia adalah thiqah ima-      mun.[1]
c.       Nama               : Muhammad Bin Muslim Ibn Ubayd Allah Ibn Abd Allah.   
Julukan            : Abu Bakar
Gelar               : Al Zuhri, Al Qurashi, Al Madani
Guru                : Abu Salamah
Murid              : Ma’mar Ibn Rasid
Lahir                : 51H
Wafat              : 123H
Kritik sanad    : Ibn Sa’ad mengatakan ia thiqah[2]
d.      Nama               : Ma’mar Ibn Rasid
Julukan            : Abu Urwah Ibn Abi Amr
Gelar               : Al-Azdi, 
Guru                : Abu Bakar
Murid              : Abd Razzak
Lahir                : 48 H
Wafat              : 153 H
Kritik sanad    : Menurut Al-Nasa’i, Ibn Hibban ia adalah thiqah[3].
e.       Nama               : Abd Razzak Ibn Hammam Ibn Nafi’
Julukan            : Abu Bakar
Gelar               :
Guru                : Ma’mar
Murid              : Imam Ahmad
Lahir                : -
Wafat              : 211 H
Salah satu hadith tentang ketundukan kepada pemimpin yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam makalah ini, dari segi rangkaian dan kesinambungan sanadnya, hadist ini bisa dikatakan hadith sahih li dzatihi[5] karena hanya di riwayatkan oleh satu orang sahabat yaitu Abu Hurairah. Berdasarkan verifikasi dan pelacakan dari berbagai sumber, utamanya dalam kitab tahdhib al-tahdhib dan tahdhib al-kamal para ulama menuliskan bahwa para perawi hadith termasuk orang yang bisa diterima periwayatan hadithnya, sebagimana tertera dalam biografi sanad hadith di atas.
Namun, apabila kita mencoba untuk menelaah sejarah dengan kerangka  kajian KeIslaman kritik terhadap karakter dan kepribadian seorang perawi hadith bisa ditelaah secara historis-sosiologis-psikologis.
Dalam skema sanad, bisa dilihat bahwa ulama atau perawi hadith yang mengeluarkan hadith tersebut didapatkan pertama kali dari Abu Hurairah. Imam Ahmad meriwayatkan hadith serupa dalam banyak redaksi.
Menarik untuk ditelaah, perawi pertama hadith ini adalah Abu Hurairah dia adalah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadith namun kebanyakan para peneliti hadith utamanya para kaum feminis banyak yang mengkritik Abu Hurairah karena dianggap banyak hadith yang diriwayatkannya mengandung bias dan pro statusquo (kekuasaan). Abu Hurairah  pernah menjabat gubernur bahrain pada masa umar[6]. Sedangkan pada masa muawiyah abu hurairah mempunyai hubungan mesra dengan khalifah.[7] Pada masa itu terjadi konflik besar antara pengikut Bani Umayyah dan Ali bin Abu Thalib. Di dalam konflik itulah berhamburan Hadith dari pihak-pihak yang berkonflik.
Abu Hurairah merupakan sahabat nabi yang meriwayatkan hadith paling banyak dibandingkan dengan sahabat lainnya, ia dikenal sebagai sahabat yang kuat hafalannya. Namun kiranya perlu ditanyakan kenapa Abu Hurairah yang lebih banyak meriwayatkan hadith ketimbang sahabat nabi yang lain seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali sebagai sahabat yang mempunyai kedudukan lebih tinggi di hadapan orang muslim ketimbang Abu Hurairah? Kejanggalan-kejanggalan seperti tergambar diataslah yang menjadi titik balik untuk mengkritik Abu Hurairah bagi orang yang kontra terhadapnya.
Ada enam orang sahabat yang paling banyak menerima dan meriwayatkah hadis dari Nabi SAW. Mereka adalah Abu Hurairah meriwayatkan 5.374 hadis; Abdullah bin Umar meriwayatkan 2.630 hadis Anas bin Malik meriwayatkan 2.286 hadis; Aisyah Ummul Mukminin meriwayatkan 2210 hadis; Abdullah bin Abbas meriwayatkan 1.660 hadis; dan Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 hadis. Sebagai seorang sahabat yang bertengger di puncak daftar nama perawi hadis terbanyak. Abu Hurairah tentu mendapatkan sorotan lebih ketimbang sahabat lainnya. Sejumlah pertanyaan pun muncul seputar dirinya. Siapa Abu Hurairah? Sejak kapan memeluk Islam? Berapa lama hidup bersama Rasulullah? Bagaimana kejujuran dan keadilannya? Bagaimana kualitas diri dan intelektualnya? Dan, sederet pertanyaan lain yang ditujukan untuk menelisik pribadinya. Mahmud Abu Rayyah, seorang intelektual asal Mesir, merupakan intelektual yang paling bersemangat melontarkan kritik terhadap Abu Hurairah.
3.      Analisa Matan Hadith
Dalam Al-Qur’an , Allah s.w.t. menjelaskan bahwa wajib mentaati Allah dan Rasul-NYA yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah di samping mentaati pemimpinnya. 
ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (النساء:٥٩)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS:An-Nisa’ :59)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya[8] menjelaskan ayat ini turun sehubungan dengan peristiwa pengutusan Rasulullah saw. Kepada Abdullah Bin Hudzafah mengepalai suatu detaseman untuk menghadang kaum musrikin, sedangkan menurut ceritanya Ali sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad ialah, bahwa rasulullah saw. Telah mengirim suatu detaseman untuk penghadangan, sebagai kepalanya telah ditunjuk seorang dari sahabat anshar. Di tengah perjalanan terjadilah hal-hal yang menimbulkan amarahnya sang kepala. Maka dikumpulkanlah para anggota detaseman itu dan ditanya. “Tidakkah Rasulullah saw. Telah memerintahmu taat kepadaku?”.”Benar” jawab mereka.
Jika demikian, kata sang kepala, kumpulkanlah kayu bakar untukku. Kemudian dibakarlah kayu yang sudah terkumpul sehingga menjadi api yang cukup besar, lalu berkata kepada anggota detasemennya, “aku perintahkan kamu terjun kedalam api ini.” Seorang anggota remaja berkata kepada kawan-kawannya menanggapi perintah sang kepala,” kamu telah lari kepada Rasulullah untuk menghindari api (neraka), maka janganlah tergesa-gesa melakukan perintah itu sebelum menemui Rasulullah saw. Dan bila beliau menyuruhmu terjun kepada api itu, maka laksanakanlah.”
Setelah mereka tiba kembali menemui Rasulullah dan menceritakan, apa yang telah terjadi, bersabda Beliau:
لو دخلتموها ما خر جتم منها ابد ا نما الطا عة بالمعروف
Artinya: Andaikan kamu terjun kedalam api itu, niscaya kamu tidak akan keluar untuk selama-lamanya. Sesungguhnya taat yang diperintahkan itu ialah hanya bila mengenai hal-hal yang ma’ruf.” 
Dalam kajian kepemimpinan ada beberapa jenis pemimpin. Dalam makalah ini akan disebutkan dua jenis pemimpin yang dimaksud. Ada pemimpin politik yang biasanya memimpin suatu golongan baik negara atau bangsa, ada juga pemimpin dalam soal ilmu yakni para ulama. Dari tipe-tipe pemimpin yang sering ditemui di lingkungan masyarakat bangsa dan negara, pemimpin politik lebih familiar dari pada tipe pemimpin yang kedua.
Dari kedua tipe pemimpin ini, ketaatan kepada seorang pemimpin tidak harus dilakukan secara mutlak, ketaatan kepada seorang pemimipin hanya dalam batas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam QS. an-nisa’ ayat 59 ayat di atas Allah memerintahkan kepada kita jika terdapat perkara yang menjadi perselisihan dalam masyarakat, maka jalan terbaik untuk menyelesaikannya dengan berpandukan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Salah satu fungsi hadith adalah menjadi bayan bagi al-Qur’an yang masih mengandung pengertian hukum atau ajaran yang absurd, mujmal,’am[9], Salah satu cara untuk memahami maksud dan ajaran yang ada dalam al-Quran tersebut adalah dengan mencari keterangannya dalam hadith yang menjelaskannya lebih rinci dan jelas.
Dalam hadith ini yang menjadi fokus telaah selain rangkaian sanad adalah matannya. walaupun dari segi sanad hadith ini termasuk hadith sahih li dzatihi namun, keotentikannya masih bisa diragukan. Nabi tidak mungkin secara rigid dan tanpa kompromi menyuruh kita untuk tunduk kepada seorang pemimpin tanpa melihat latarbelakang dan apa yang dilakukan oleh pemimpin tersebut sebagaimana digambarkan dalam peristiwa seorang sahabat yang diceritakan dalam hadith di atas. Nabi tidak mungkin memerintahkan umatnya untuk tunduk pada pemimpin yang fasis, otoriter dan represif. Dengan kata lain bahwa apa yang diucapkan nabi di atas kalau dianalogikan dalam rangkaian kalimat. Maka, apa yang diucapkan nabi masih tanda koma bukan titik. Sebagaimana dalam hadith lain dijelaskan:
لاطاعة لمخلوق فى معصية الله عز وجل (راواه احمد) 
Artinya: Tidak wajib taat dalam perbuatan ma’siat kepada Allah (HR. Imam Ahmad Ibn Hambal)
Islam melarang setiap umatnya untuk bersifat taqlid atau mengikuti tidak atas dasar ilmu, sebagaimana firman-Nya,”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isro’: 36)
Redaksi hadith yang diriwayatkan Imam Ahmad di atas menggunakan  فقداطاع-عصا اميرى-  dalam kajian ilmu nahwu “qad” apabila masuk dalam fi’il madhi mempunyai fungsi untuk memperkuat suatu Kejadian yang benar-benar terjadi. Maka dari alasan ini, dari segi redaksi, hadith ini kurang tepat apabila dipahami bahwa ketundukan kepada seorang pemimpin dilakukan sama dengan ketudukan kita kepada Allah dan Rasulnya.
D.    VALIDITAS HADITH 
Kebanyakan para peneliti hadith menjadikan kesinambungan rangkaian sanad sebagai rujukan untuk menentukan kualitas hadith dan sangat sedikit yang mencoba untuk menganalisis matan hadith. walaupun ada, kebanyakan para peneliti hadith melakukan apologetik untuk melegalkan hadith dengan mencari hadith yang serupa dan mencari ayat-ayat al-Qur’an yang bisa memperkuat isi hadith tanpa mau melihat konteks sosial yang dihadapinya dan juga kurang  menggali subtansi dari hadith itu sendiri. Hal ini biasanya dilakukan oleh mereka yang bersifat fanatis-rigid-literlek terhadap teks al-Qur’an dan hadith di samping juga sarat dengan kepentingan pribadi, kelompok dan golongan (vested intrest).
Jika hadis ini memang benar-benar pernah diucapkan oleh Nabi, kenapa beberapa sahabat memberontak pada Utsman, khalifah ketiga, saat ia dituduh mempraktekkan kebijakan-kebijakan yang “nepotistik” dan meresahkan banyak masyarakat, hingga akhirnya dia terbunuh? Apakah sahabat melanggar perintah Nabi untuk tunduk pada penguasa, baik penguasa adil ataupun jahat?
Kontradiksi-kontradiksi historis semacam ini tidak pernah dijawab secara memuaskan dalam literatur fikih siyasah, dan sebaliknya ditutup rapat-rapat melalui doktrin “al-shahabi ‘udul“, para sahabat adalah adil. Pokoknya diandaikan saja bahwa generasi sahabat pasti benar, tak mungkin mereka berbuat salah. Kalau pun mereka berbuat sesuatu yang tampaknya salah, itu adalah hasil ijtihad mereka. Ijtihad yang salah tetap mendapat pahala. Solusi semacam ini hanyalah melarikan diri dari masalah, bukan menghadapinya dengan “jantan”.
Lafadz قد yang ada dalam hadith memberi isyarat adanya suatu kesejajaran antara nabi dengan khalifah. Khalifah pada masa Islam sama kedudukannya dengan nabi-nabi pada bangsa Israel. Karena tak ada nabi lagi sepeninggal Nabi Muhammad, maka yang muncul sebagai “penguasa” yang melanjutkan misi Nabi adalah para khalifah. Oleh karena itu, seperti kita baca dalam hadith itu, umat Islam diperintahkan untuk memberikan hak kepada para khalifah itu, yang disebut dengan hak di sini adalah ketaatan. Menyamakan nabi dan khalifah dalam kepemimpinannya adalah sebuah hal yang sulit diterima oleh akal. Sebagaimana kita lumrah di kalangan umat Islam bahwa nabi adalah manusia pilihan dan panutan bagi seluruh ummatnya.
Sekali lagi, hadis ini tak pernah diungkit-ungkit saat terjadi pembangkangan atas Utsman, dan juga Ali, khalifah keempat.
Apa kesimpulan yang hendak saya capai dengan observasi ini? Saya menduga dengan kuat, bahwa hadis-hadis politik ini adalah hadis palsu yang “diciptakan” belakangan untuk menjustifikasi penguasa-penguasa dalam dinasti Islam. Sebagaimana kita tahu, banyak sekali khalifah Islam yang bertindak tiranik dan despotik. Hadis-hadis politik ini jelas menguntungkan mereka secara politik, sebab menekankan ketaatan rakyat, walaupun seorang penguasa menempuh kebijakan yang tak menguntungkan mereka.
Verifikasi hadis dengan metode sanad atau mata rantai transmisi banyak dilakukan sebagaimana selama ini ditempuh oleh kesarjanaan Islam tradisional. Namun hal ini dianggap belum memadai. Penulis mencoba untuk menelaah hadith ini dengan menggunakan Metode proyeksi yaitu melakukan verifikasi dengan metode non-sanad. Metode ini dikembangkan mula-mula oleh Ignaz Goldziher, diteruskan oleh Joseph Schacht, dan kemudian diradikalkan lagi dalam studi Quran oleh John Wansbrough.
Sebetulnya metode ini sudah dibuka kemungkinannya dalam studi hadis sendiri. Sebagaimana kita tahu, dalam studi ilmu-ilmu hadis (mushthalah al-hadith) kita kenal dua metode kritik (naqd), yaitu kritik sanad dan kritik matan atau teks hadis. Kritik sanad sudah dikembangkan dengan canggih oleh sarjana Islam, tetapi kritik matan kurang banyak dicoba. Metode proyeksi bisa masuk dalam kritik matan itu.
E.     KESIMPULAN 
Hadith ini dari segi tranmisi sanadnya dengan mendasari pada standarisasi legalitas hadith yang selama ini banyak dijadikan acuan bagi para ulama tradisional hadith ini    termasuk hadith “Shahih”. Namun dari segi matan isi hadith ini perlu untuk diverifikasi karena latar belakang munculnya hadith dan orang yang pertama kali meriwayatkannya banyak mendapatkan kritik dari beberapa sarjana kontemporer walaupun tidak sedikit juga ulama-ulama tradisional yang juga membelanya.
Disamping itu, matan hadith yang menjelaskan tentang ketaatan kepada seorang pemimpin masih perlu di jelaskan lagi dengan hadith yang lain yang memerintahkan untuk mentaati seorang pemimpin pada batas-batas tertentu yang sifatnya ma’ruf atau tidak menyimpang dari ajaran-ajaran agama.
Mentaati seorang pemimpin merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang muslim baik itu pemimpin agama, politik, baik yang bersifat lokal, regional, nasional maupun international.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya, Al-Hidayah,2002
Ahmad Bin Hambal, Musnad, Beirut: Dar Al Fikr,tt
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar Al Fikr,tt
Muslim, Al Jami’al-Shohih, Beirut: Dar Al Fikr,tt
Al-Nasa’i, Sunan Al-Nasa’i, Beirut: Dar Al Fikr,tt
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Mesir Isa Al-Ba-Bi Al Halabi Wa Shurakat,tt
Al-Mazzi, Tahdhib Al-Kamal Fi Asma’al Rijal, Beirut: Dar Al Fikr,tt
Al-Asqalani, Tahdhib Al-Tahdihib, Beirut: Dar Al Fikr,tt
Ash-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Hadith, terj. Tim Pustaka Firdaus .Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Amin, Kamarudin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta : Hikmah, 2009.
Mahmud Abu Rayyah, Adhwâ` ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, Dar al-Ma’arif, Cairo
Cetakan : VI, 1994.
Cetakan : VI, 1994.
Ash Shiddieqy, Hasbi, pokok-pokok ilmu dirayah hadith, Jakarta: Bulan Bintang,1987.
Ridwan,Nastir,dkk,(ed),Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2008.
Bahreisy, Salim, Tafsir Ibnu Katsir,ter. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003.
Hasan, Qadir, Ilmu Mushthalah Hadith, Bandung: Diponegoro, 2007.
Juynboll, GHA. Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960) terj. Bandung: Mizan, 1999.
* Makalah dipresentasikan sebagai tugas mata kuliah: Studi Hadith Program Magister (S2) IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dosen Pengampu Dr.H.Zainuddin MZ., M.Ag
ª Mahasiswa pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, angkatan 2010
[3] Al-mazzi, Tahdhib Al-Kamal, juz 18,268-272. Al asqalani, Tahdhib Al-Tahdhib, juz 10,219-221.
[4] Ibid.
[5] Satu hadith yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir,diceritakan oleh orang-orang adil, dla-bith sampai sempurna, serta tidak ada syud-dzudz dan tidak ada illah yang tercela. lihat Hasan,Qadir, Ilmu Mushthalah Hadith, (Bandung: Diponegoro, 2007), 29
[6] Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960) terj. (Bandung: Mizan, 1999).138-139
[7] Ibid.
[8] Bahreisy, Salim, Tafsir Ibnu Katsir,ter. (Surabaya: PT. Bina Ilmu,2003),452-453.
 






 


 02.35
02.35

