MENYELAMI MAKNA PUASA§
(Menyingkap Dimensi Lain Dibalik di”Syari’ahkan”nya Puasa)
Oleh: Siful Arifin©
Setiap ibadah[1] mempunyai dimensi ke-Ilahian dan dimensi kemanusiaan. Ibadah merupakan manifestasi dari pengabdian manusia kepada Tuhannya dalam posisinya sebagai ‘abdullah (kesadaran eksistensi). Di samping itu, ibadah juga mempunyai efek konsekuensional  yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (yang dalam bahasa fiqh-nya disebut maslahatul ummah), baik dalam konteks individual maupun sosial. Dalam bentuk inilah ibadah merupakan aktualisasi manusia dalam menjalankan mandatnya sebagai khalifatullah (kesadaran fungsi).
Sebagai contoh ibadah shalat, yang diawali dengan takbirat-u’l-ihram dan diakhiri dengan salam.  Menurut beberapa mufassir klasik-kontemporer, Diawalinya shalat dengan takbirat-u’l-ihram merupakan simbolisasi vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan) yang mengharuskan orang untuk melakukan pemutusan diri dari sesuatu yang tidak berhubungan dengan Allah Swt. Kemudian shalat diakhiri dengan salam (ke kanan dan ke kiri) sebagai simbol bahwa orang yang melakukan shalat akan senantiasa meng-arsiteki dan memproduksi kebajikan dengan cara beramal saleh atau kerja kemanusiaan (social work) kepada setiap manusia (bukan hanya beramal saleh kepada umat muslim saja, tapi juga kepada umat non-muslim, “jika saja kategorisasi ini mau dipakai”. Karena mereka (non-muslim; Yahudi, Nasrani) juga dijamin kehidupan akhiratnya (masadepannya) oleh Allah Swt.) [2] Dalam bahasa yang lain penulis ingin mengatakan bahwa bagi mereka para kaum Yahudi dan Nasrani juga akan disediakan surga (swarga; Sansakerta: kebahagian). Inilah yang dimaksud oleh penulis bahwa ibadah mempunyai efek konsekuensional. 
  Sebagaimana ibadah-ibadah yang lain puasa juga mempunyai dimensi vertikal-intrinsik dan horisontal-konsekuensional yang bersifat individual maupun sosial. Secara vertikal puasa sangat erat hubungannya dengan dimensi ketuhanan dan sangat pribadi. Allah dalam hadith qudsi berfirman:   الصوم لى وانا اجزى به
“Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Puasa serta rukun Islam lainnya yang diyakini merupakan perintah Tuhan yang terakumulasi dalam agama –lebih spesifiknya dalam syari’ah-fiqh- merupakan rukun dan doktrin yang wajib ditunaikan jika seseorang ingin disebut sebagai orang Islam. Doktrin arkanul Islam -yang secara praktek termaktub dalam fiqh- sangat kuat bagi para penganutnya. Sehingga fenomena masyarakat muslim menunjukan adanya kecenderungan melakukan ibadah-ibadah termasuk dalam hal ini puasa- hanya karena tendensi atau alasan adanya perintah agama (Tuhan (Al-Qur’an),-Nabi (hadith), -Ulama (fiqh), Leluhur (tradisinya). TITIK). Asumsi ini segaris dengan fenomena yang terjadi di masyarakat ketika ditanya kenapa antum melakukan shalat, puasa, zakat, haji.? Jawabnya perintah Tuhan. Ada juga yang menjawab perintah Nabi. ada juga yang ditanya kenapa antum melakukan qunut diwaktu shalat shubuh? Jawabnya, karena ikut perintahnya Imam Syafi’i. Yang lebih unik lagi ketika seorang ditanya kenapa antum membakar kemenyan? Jawabnya karena dari dulu leluhur kami melakukan tradisi seperti ini.[3] Sangat sedikit dari mereka “umat Islam” yang melihat perintah-perintah tuhan ini dari dimensi yang lain. Seperti melihat (syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji) dari dimensi psikologi, spritual, medis, sosiologis dan ekonomis. Di sinilah letak dan posisi syari’ah ataupun fiqh sebagai media formalisasi dan legalisasi dari adanya perintah Tuhan mempunyai pengaruh dan posisi yang sangat kuat bagi umat Islam.
History Of Fasting 
Kata “puasa” yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia secara generik berarti “pengendalian diri” (self control/self denial)) kata ini diambil dari bahasa Sansakerta mempunyai arti yang sama dengan kata “shawm” dalam bahasa Arab. Pengendalian diri yang dimaksud adalah pengendalian diri atas dorongan berlaku tamak dan pengendalian diri dari berlaku dosa.[4] Pengendalian diri yang demikian yang akan menjadi benteng tangguh manusia agar tidak berada dalam kejatuhan moral dan spiritual. Namun penulis, lebih memilih mengartikan puasa sebagai “perbuatan menunda”. Hal ini karena, pada umumnya orang yang berpuasa tidak melakukan tiga hal yakni makan, minum, seks pada waktu tertentu. Cak Nur juga menjelaskan bahwa puasa itu hakikatnya adalah menunda kesenangan untuk sementara waktu.
Masalah menahan diri-yang menjadi inti ajaran puasa-sebenarnya, kalau saja mau dikaji, erat kaitannya dengan drama kosmis atau peristiwa kejatuhan Adam dari surga ke bumi. Dikisahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 35-39  bahwa Adam sebagai simbol “manusia pertama”, diizinkan oleh Allah untuk menikmati apa saja yang ada di Surga tapi kemudian, dia dikeluarkan dari jannah (kebun)-yang dalam masyarakat kita disebut sebagai surga- karena dia tidak bisa menahan diri (puasa) dari larangan Allah untuk tidak memakan buah khuldi.[5] Dosa ketamakan Adam ini pada akhirnya membuat dia dan keluarganya diusir dari taman Firdaus. Al-qur’an mengistilahkan peristiwa ini dengan idiom al-hubut atau dalam bahasa seberang (Inggris) diistilahkan dengan doctrine of fall.[6] Iqbal menyebut peristiwa ini dengan istilah the Qur’anic legend of the fall atau the fall of man.[7] Skenario dan drama  diusirnya Adam dan istrinya dari jannah (kebun) diilustrasikan dengan baik nan indah dalam Al-qur’an.[8]
Dari sinilah kita dapat mengambil hikmah bahwa secara historis-simbolik puasa sudah diperintahkan kepada Nabi Adam ketika Adam dan keluarganya masih ada di surga. Orang Yunani, Romawi, Mesir Kuno juga mempunyai tradisi puasa untuk mneghormati para dewanya. Nah, penjelasan ini memberikan gambaran pada kita bahwasanya tradisi puasa bukanlah tradisi yang lahir dari Islam yang dibawa Muhammad. Tapi, tradisi yang sudah lama berlangsung dalam lintas sejarah keber-agamaan manusia. Kemudian, puasa mengalami modifikasi, re-formulasi orientasi tujuan pada masa Nabi agung yang bernama Muhammad yang “katanya”berlangsung sampai sekarang ini.
Puasa Sebagai Anugerah
Puasa selain sebagai perintah, sebenarnya juga merupakan anugerah Tuhan. Puasa dianggap sebagai anugerah, karena puasa mengandung berbagai hikmah bagi kehidupan manusia, baik hikmah yang bersifat individual maupun sosial.
Dalam dimensi individual puasa mempunyai hikmah fisik, psikis, biologis,  spritual, moral, medik dll. Umpamakan jiwa dan raga kita ini seperti motor yang kita pakai setiap hari. Jika tidak pernah diservis, ditune-up, dan tidak pernah dibersihkan. Maka bisa dipastikan beberapa tahun kedepan kita harus ganti motor yang baru. Kalau motor itu tubuh kita, maka mau diganti dengan apa, padahal di toko tidak ada yang jual spare-part tubuh manusia. Nah, disinilah puasa ramadhan berfungsi sebagai media untuk meng-up-date dan men-service jiwa dan raga kita.
Selain itu, Ramadhan juga merupakan sekolah bagi jiwa-raga, jasmani-rohani kita. Di bulan inilah kejujuran, kesabaran, kepercayaan, ketundukan kita dibina dan diuji oleh Allah Swt. Ibarat sebuah sekolah setiap orang Islam-sebagai anak didiknya- tahu aturan sekolah. Semua orang, bahkan anak kecil pun, tahu lonceng masuk sekolah berbunyi pada saat kita masuk waktu Subuh. Dan semua orang tahu bahwa waktu sekolah akan usai saat matahari mulai tenggelam. Di dalam masa “sekolah” semua orang tahu peraturan “sekolahan”, seperti larangan makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa. Inilah salah satu sekolah gratis yang didirikan Allah untuk mendidik moral dan spritual manusia. “SEKOLAH RAMADHAN”.
Dari tinjauan medis-praktis, berdasarkan beberapa penelitian, puasa juga seringkali dijadikan theraphy untuk penyembuhan dan pencegahan penyakit tertentu. Said Salwa memberi penjelasan dalam bukunya Al-Islam bahwa Kebiasaan banyak makan akan menimbulkan beberapa penyakit seperti: rematik, liver, tekanan darah tinggi, dan kencing manis. Oleh karena itu, dengan berpuasa penyakit-penyakit itu bisa dicegah atau diminimalisir. Disamping itu, puasa juga sering dilakukan oleh para pasien yang akan melakukan operasi besar. Sebenarnya, manfaat-manfaat ibadah dari segi medis ini juga banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadith.
Ritual puasa sebagai anugerah ini tidak hanya dirasakan oleh manusia tapi juga makhluk tuhan lainnya. Lihat saja, hewan piaraan kita yang bernama ayam. Mereka berpuasa ketika mereka mengerami telurnya. Hal serupa juga dilakukan oleh ulat yang berpuasa ketika bermetamorfosis menjadi kepompong.
Puasa selain juga mempunyai hikmah yang luar biasa, seringkali puasa menjadi arena untuk memproduksi kejahatan. Hal yang semacam ini terjadi dalam budaya samanisme, yang menjadikan puasa sebagai persyaratan untuk mendapatkan kekebalan atau ilmu magis (black magic).[9] Termasuk yang tidak sesuai dengan ajaran agama adalah puasa wishal atau dalam bahasa jawa dikenal dengan istilah pati geni-yang biasanya sering dijadikan syarat untuk mendapat kesaktian. Puasa wishal –puasa secara terus menerus setiap hari tanpa berbuka- ini tidak dianjurkan dalam Islam karena bersifat melawan nature dan seringkali menyengsarakan tubuh kita. 
Dalam dimensi psiko-sosial, puasa dapat melatih kepekaan mata hati kita terhadap realitas-sosial yang timpang. Rasa lapar yang dirasakan oleh kita selama berpuasa merupakan media agar kita mempunyai empati terhadap saudara kita yang kehidupan sehari-harinya berteman dengan rasa lapar yang berkepanjangan. Disamping itu, pesan sosial puasa juga dipertegas oleh Allah dengan mewajibkan setiap individu untuk mengeluarkan zakat fitrah pada setiap akhir puasa ramadhan. 
Dengan kata lain, pesan intrinsik sosial puasa dan zakat, bahwa kita harus mempunyai kepedulian terhadap kaum dhu’afa (orang yang miskin secara kultural) dan kaum mustad’afin (kaum yang di-miskinkan oleh struktur; birokrasi, penguasa, orang kaya dan ulama). Kalau dengan puasa, rasa empati kita tetap tumpul, kemauan untuk berbagi tidak tampak, maka hati nurani kita sudah tergantikan oleh hati dzulmani. Dengan demikian, melihat realitas sebagian masyarakat yang hidup dengan kelebihan harta, sementara yang lain mesra dengan kemiskinannya. Maka sebenarnya, masyarakat Islam Indonesia tidak miskin harta tapi miskin hati nurani.
Jika saja kita hanya aktif dalam membentuk kesalehan formal (formal piety) dengan melakukan shalat, zakat, puasa, haji. Tapi disisi lain kita absen dalam membangun kesejahteraan dan kedamaian sosial. Maka, sebenarnya kita masih termasuk orang yang kafir (tertutup hatinya) dalam melihat sebuah kebenaran. Jadi, kita sering mengalami keperibadian yang mendua (split personality). Banyak orang berkali-kali pergi haji, tapi berkali-kali juga melakukan korupsi. Banyak orang yang puasanya sering dilunasi, tapi selalu mengingkari hati nurani, ada juga orang yang sangat fasih melantunkan ayat-ayat suci, tapi juga fasih dalam mencaci dan iri hati. Banyak juga orang yang tampak khusuk dalam shalatnya, namun “khusyuk” juga dalam membuat sakit hati.
Nah, jika saja kita-penganut Islam- mau jujur dan legowo mengatakan bahwa sebenarnya ajaran Islam itu sebuah ajaran yang antikesalehan formal. Sebagaimana Al-Qur’an mengutuk orang yang shalat tapi tidak perduli terhadap anak yatim dan orang miskin.[10] Pesan sosial Al-Qur’an melalui surat Al-Ma’un tersebut adalah orientasi ibadah kita harus seimbang (balance) antara orientasi ketuhanan dan kemanusiaan. Dan jika ibadah-ibadah yang kita lakukan masih belum menciptakan dan belum memproduksi kemaslahatan, kedamaian dan keadilan dalam kehidupan. Maka, sebenarnya kita belum termasuk orang yang beragama. Ini apabila melihat arti agama secara generik. “A” berarti tidak. “Gama” berarti kacau. Jadi orang yang beragama itu adalah orang yang kehidupannya berada dalam aturan-aturan tertentu.
Demikianlah uraian penulis tentang puasa. Semoga tulisan ini bermanfaat. penulis ingin menyampaikan jika tulisan ini mengandung kebenaran dan kebaikan maka “janganlah ditelan tanpa mengunyahnya”. Namun jika dalam tulisan ini tersirat sejuta kesalahan maka ruang dialog, diskusi dan pintu maaf selalu terhampar di bumi intelektual. Sekali lagi tulisan ini bukanlah sebuah justifikasi dari sebuah ke-pem-benaran apa lagi menghakimi sebuah ritual keper-ibadata-an, tulisan ini hanyalah sebagai bahan diskusi. Syukron Jazilan......!
REFERENCES
Iqbal, Muhammad, The Reconstruction Of Religius Thought In Islam , New Delhi: Kitab Bahavan, 1981.
Madjid, Nurcholis, 30 Sajian Ruhani Renungan Di Bulan Ramadhan, Bandung: Mizan, 2007.
------------,  Islam Doktrin Dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 2005.
Murtadha Muthahhari, Syekh Tosun Bayrak, Energi Ibadah Selami Makna, Raih Kematangan Batin, Jakarta: Serambi, 2007.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqh Para Mujtahid,  Jakarta: Pustaka Amani, 2007. 
Rahmat, Jalaluddin, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
§ Disampaikan dalam Dialog Ramadhan dan buka bersama dengan tema : Puasa Dalam Perspektif Fiqh Dan Medis.
© Siful Arifin, santri “kalong” alumni P.P. Darussalam Al-Faisholliyah. Seorang Maha Santri yang sedang berproses menjadi muslim.
[1] Ibadah disini berarti segala aktivitas manusia yang diniatkan sebagai pengabdian dan penghambaan diri kepada tuhan. Atau dalam pengertian yang lebih khusus ibadah menunjuk kepada amal perbuatan tertentu yang secara khas bersifat keagamaan.  Lihat Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2005), 57-58. Lihat juga, Murtadha Muthahhari, Syekh Tosun Bayrak, Energi Ibadah Selami Makna, Raih Kematangan Batin (Jakarta: Serambi, 2007), 15-16
[3] Ilustrasi ini penulis sarikan dari pengalaman pribadi ketika berbaur dengan umat Islam di pojok-pojok kampung desa ini. Dari fenomena inilah penulis beranggapan bahwa perlu adanya diskusi  keagamaan secara intens untuk melakukan “penyadaran ke-beragamaan. Agar posisi tuhan tidak semakin terkikis-kalau tidak mau dikatakan tergantikan- dalam  praktek-praktek ritual keber-agamaan kita. 
[4] Dosa yang dimaksud penulis disini adalah sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Atau perbuatan yang dalam jangka pendek membawa kesenangan, tapi membawa kesengsaraan di masa depan.
[5] Menurut beberapa mufassir salaf, buah yang dimaksud adalah “buah kekekalan” yang dalam bahasa Al-qur’an disebut “syajarah khuld” –jika buah ini dimakan maka akan mengingkari hakikat kemanusiaan Adam. Kalau saja penafsiran ini benar. maka penulis mempunyai anggapan sederhana bahwa masih ada sejuta misteri yang terkandung dalam buah kekekelan tersebut. Atau dalam pemikiran yang lebih genit. Kenapa buah itu dilarang untuk dimakan.? Jangan-jangan tuhan takut tersaingi oleh manusia jika saja buah itu dimakan. Sssssssst....tahan dulu! Don’t be angry! Itu hanya penafsiran. Tidak makan buah khuldi saja manusia sudah ngotot banget  kok untuk menyaingi tuhan. Dan mencoba untuk menjadi tuhan-tuhan kecil. Ehmmmmmm..... tapi jangan khawatir tuhan tidak akan pernah bisa tersaingi. Tidak akan.......! 
[7] Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religius Thought In Islam (New Delhi: Kitab Bahavan, 1981), 81
 






 19.01
19.01


0 komentar:
Posting Komentar