MENGGUGAT “SEKOLAH”
Pendidikan telah dipercaya sebagai aset yang sangat berharga dalam upayanya mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Untuk mewujudkannya berbagai upaya telah dilakukan oleh para founding father kita. Salah satunya dengan melegitimasi pendidikan dalam bentuk sekolah. Ternyata, Niat baik tersebut menjadi boomerang ketika masyarakat menjadikan sekolah sebagai satu-satunya wahana untuk mendapatkan pendidikan.
Sebenarnya, Mereduksi pendidikan menjadi sekolah merupakan sebuah inovasi intelektual yang sangat picik dan naif. Legalisasi dan formalisasi pendidikan dalam bentuk sekolah telah mendistorsi sakralitas nilai-nilai pendidikan. Sekolah-berikut sistem yang ada- telah menjadi penjara bagi kreativitas peserta didik yang multi potensi. Tidak sedikit peserta didik merasa bosan dan ketakutan ketika berada di sekolah. Sekolah yang dibayangkan sebagai “surga” untuk belajar, bermain, bersosialisasi, mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi diri berubah menjadi “neraka” dengan setumpuk tugas dan ilmu yang dipaksakan. Di sekolah guru menjadi “tuhan” yang serba tahu dan tidak jarang mengekang dan memasung imajinasi dan potensi peserta didiknya. 
Ketika pendidikan sudah terlembagakan dalam bentuk sekolah maka proses pendidikan terbatasi oleh sistem, aturan, kurikulum, biaya, ruang dan waktu. Sekolah tidak jarang menjadi alat penindas dan alat untuk melanggengkan status quo. Sesuatu yang naif, mengharapkan peserta didik menjadi manusia yang unggul dan kompeten. Jika proses pendidikan dibatasi oleh ruang kelas dan durasi waktu yang pendek.
Pendidikan (sekolah) yang diproyeksikan untuk melakukan pemberdayaan dan penyadaran kemanusiaan atau proses -humanisasi-meminjam istilahnya Paulo Freire, Gramsci, dan Marx telah mengalami dis-orientasi. Ia telah berubah menjadi pabrik dan pasar. Sebagai pabrik sekolah hanya berhasrat untuk memproduksi manusia-manusia yang berjiwa robot yang siap dipekerjakan menjadi budak kaum pemodal. Sekolah dengan gagah berusaha menentukan nasib dan masadepan peserta didik dengan aturan dan sistem yang diberlakukannya. Sedangkan mengartikan sekolah sebagai pasar, bukan rahasia lagi jika para guru dan stakeholder lainnya menjadikan sekolah sebagai ladang transaksi untuk melacurkan ilmu dan jasa-jasanya demi mendapatkan atau menambah pundi-pundi pengahasilannya.Yang lebih miris lagi mereka mendapatkannya dengan cara-cara yang culas. 
Paradigma pendidikan yang berorientasi “market oriented” tersebut seringkali membuat potensi peserta didik tergadaikan oleh kepentingan pragmatis dunia kerja dan kepentingan pasar kaum kapital. Akibatnya, seringkali Peserta didik dipaksa untuk mempelajari kurikulum yang sudah dirancang sesuai dengan permintaan pasar dan pemilik modal.
Janji manis bahwa sekolah dapat menjamin masadepan peserta didik  hanyalah menjadi isapan jempol bagi kebanyakan alumni sekolah yang menjadi pengangguran terdidik. Dan fenomena pengangguran terdidik ini terus bertambah tiap tahunnya. Bukankah ini merupakan potret gagalnya sekolah dalam menciptakan manusia yang berkualitas walaupun dalam perspektif mereka (sekolah kapital). Kalau demikian, mengapa kita masih saja menjadi budak sekolah dengan terus duduk manis diruang kosong tersebut. 
Sekarang, masih pantaskah masyarakat menggantungkan masadepannya diketiak pendidikan yang  bau busuknya sudah membuat ketimpangan, ketidakadilan, kemiskinan yang terus memproduksi penganguran yang berkepanjangan.  
Fenomena menentang dan pesimisme terhadap legitimasi pendidikan dalam bentuk sekolah sudah sejak lama diteriakkan oleh pakar pendidikan seperti Everett Reimer dengan slogannya “School Is Dead” (sekolah telah mati) dan Ivan Illich dengan Descholling Society-nya (masyarakat tanpa sekolah). Mereka berusaha mengajarkan pada masyarakat bahwa sekolah bukan satu-satunya lembaga yang bisa menjamin masadepan kita. Di Indonesia ketidakpercayaan terhadap sekolah juga pernah diteriak lantangkan oleh tokoh-tokoh pendidikan nasional, seperti YB Mangunwijaya (Romo Mangun) dengan konsep penyadarannya; Driyakarya dengan konsep pemanusiaan manusia muda. Namun hal itu tetap tidak bisa merubah paradigma masyarakat tentang pendidikan yang sudah menemukan aktualisasinya dalam bentuk sekolah. Pendidikan dalam bentuk sekolah sudah menjadi “Dogma Agung” yang harus diterima dan dilaksanakan. 
Dalam kondisi sekolah yang demikian, alangkah baiknya kita merefleksikan nasehat bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara yang mengatakan “ Jadikan semua orang sebagai guru dan setiap tempat adalah sekolah”. Sebuah ungkapan yang sederhana, tapi sangat bermakna.
Melalui ungkapannya diatas, Ki Hajar Dewantara ingin mengajarkan kepada kita bahwa kita semua adalah guru  dan alam adalah“sekolah”. Guru bukanlah mereka yang berdiri dan mengajar disekolah dan sekolah tidak hanya berwujud bangunan megah berikut fasilitasnya. Alam raya ini adalah sekolah yang sangat ramah yang akan banyak mengajarkan kepada kita tentang arti dan makna kehidupan.
Pada akhirnya, sudah saatnya kita melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sekolah. Kita harus berani untuk merubah paradigma bahwa pendidikan tidak hanya berwujud sekolah lengkap dengan perangkatnya. Namun alam ini adalah sekolah dan kita semua sebagai gurunya. 

Oleh: siful arifin
Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana IAIN Surabaya, alumni Pondok Pesantren Darussalam Al-Faisholiyah Ketapang-Sampang. Dan sekarang penghuni pondok kajian “komunal”.
 






 


 23.00
23.00

