Selasa, 27 Agustus 2013



 POLITISASI KONSTITUSI

Pada Sabtu dini hari, di ujung bulan Maret yang lalu. Tepatnya, pada 31 maret 2012 pimpinan DPR-RI mengetuk palu sebagai simbol disahkannya ayat baru. Yakni pasal 7 ayat (6a) yang mengatur tentang prosedur atau langkah-langkah kenaikan BBM ditinjau dari aspek konstitusi. Selain itu, rapat paripurna tersebut menghasilkan putusan bahwa kenaikan BBM tidak akan terjadi pada 01 april 2012. Namun demikian, harga BBM akan dinaikkan oleh pemerintah jika harga Indonesia Crude Oil (ICP) secara rata-rata mencapai 15% dari asumsi awal 95 dollar AS per barrel pada enam bulan terakhir dihitung mundur ke belakang.
Rapat paripurna pada saat itu berlangsung alot dan penuh kemelut. Fraksi PDI-P dan Fraksi Partai Hanura melakukan walk out dari rapat, karena menganggap suasana rapat sudah tidak steril dari kepentingan politik golongan.
Pro kontra tentang kenaikan BBM terus saja menggema mengiringi perjalanan rapat. Waktu jeda pun seringkali dilakukan untuk melakukan lobi-lobi agar perjalanan rapat tidak deadlock dan bisa menghasilkan keputusan yang bisa diterima oleh semua pihak.
Fraksi-fraksi partai politik di DPR-RI pun terpecah belah menjadi dua kubu. Yakni, kubu koalisi dan oposisi. Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi PAN, dan Fraksi PKB sama-sama berada di garis koalisi yang mendukung kenaikan BBM. Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mitra koalisi yang menolak adanya kenaikan BBM.
Sementara itu, Fraksi PDI-P, Fraksi Gerindra, Fraksi Hanura sebagai kelompok oposisi dan ditambah Fraksi PKS sebagai satu-satunya partai koalisi yang berseberangan tetap konsisten menolak kenaikan BBM, sekaligus juga menolak disahkannya pasal 7 ayat 6 (a). Dalam pandangan kelompok oposisi, pasal baru tersebut bertentangan dengan ayat sebelumnya dan sangat berpotensi untuk memberi ruang terhadap adanya kenaikan BBM. Dengan demikian, kelompok yang menolak kenaikan BBM ini tetap berpegang teguh pada pasal 7 ayat 6 yang menyatakan harga BBM bersubsidi tidak boleh dinaikkan.
Politik Ketergantungan
Jika diamati dengan cermat maka, keluarnya pasal 7 ayat 6 (a) tersebut merupakan opsi yang diajukan oleh partai Golkar. Pada hari-H sebelum rapat paripurna digelar melalui ketua umumnya partai bergambar pohon beringin tersebut menyatakan menolak rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Namun pada detik-detik terakhir pengambilan keputusan, Golkar mendukung kenaikan harga BBM dengan syarat sebagaimana yang diusulkan oleh  Fraksi Partai Golkar yang kemudian menjadi isi penambahan ayat baru tersebut.
Disinilah kepiawaian para politisi partai Golkar terlihat. Sebagai partai yang sudah kenyang pengalaman, Partai Golkar mampu menyetir kebijakan pemerintah. Disatu sisi, partai Golkar tidak ingin kehilangan simpati publik namun disisi lain Golkar juga tidak ingin kehilangan kompensasi menteri.
Diakui atau tidak, suara partai Golkar pada rapat paripurna yang membahas kenaikan BBM tersebut merupakan penentu kebijakan. Seandainya partai Golkar tetap konsisten untuk menolak kenaikan BBM tanpa syarat maka sangat besar kemungkinan peta politik hari ini akan berbeda.
Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang secara berani berseberangan dengan pemerintah mendapat kecaman bahkan ancaman dari mitra koalisi lainnya. PKS santer diberitakan akan dikeluarkan dari koalisi.
Gertakan yang semacam ini sebenarnya menunjukan bahwa pemerintahan saat ini sangat lemah, mudah dikontrol dan penuh ketergantungan pada kekuasaan partai politik. Ini sangat berbahaya bagi eksistensi dan keberlanjutan pemerintahan SBY-Bodieono. Jika hal ini tidak disadari dan tidak diperbaiki maka mustahil kiranya pemerintahan sekarang ini menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.
Rapuhnya Konstitusi Kita  
Ditambahkannya pasal 7 ayat 6 (a) yang mengatur tentang kenaikan BBM tersebut secara subtansi maupun secara redaksi jelas bertentangan dengan pasal yang sudah ada sebelumnya. Bagaimana tidak, pasal 7 ayat 6 mengatur bahwa BBM tidak boleh naik. Isi ayat ini seakan tidak berarti dengan dikeluarkan pasal 7 ayat 6 (a) yang mengatur adanya kenaikan BBM bersyarat.
Disahkannya pasal 7 ayat 6 (a) sebagai pasal baru, menunjukan adanya pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pembuat konstitusi itu sendiri. DPR sebagai pembuat undang-undang telah melakukan suatu tindakan yang bersifat contradixtio in termenes (peraturan di bawahnya bertentangan dengan peraturan di atasnya atau sebelumnya). Suatu tindakan yang ir-rasional dan inkonstitusional.
Dengan demikian, bukanlah sesuatu yang aneh  jika ada sebagian ahli hukum yang ingin mengajukan judicial review atas Pasal 7 ayat (6a) tersebut ke mahkamah konstitusi. Karena sangat jelas, penambahan ayat baru tersebut bertentangan dengan konstitusi atau peraturan yang sudah ada dan sangat berbau politis.
Jika konstitusi kita dibuat hanya berdasarkan suara terbanyak hasil voting dan mengabaikan peraturan konstitusi sebelumnya, masih perlukah kita berpedoman pada undang-undang dan pasal-pasal yang dibuat atas nama konspirasi politik tersebut. Apalagi, sangat jelas bahwa peraturan baru tersebut sangat bertolak belakang dengan keinginan rakyat yang menginginkan BBM tidak naik.
Pembuatan pasal-pasal yang tidak populis tersebut dapat menjadi potret bagaimana kinerja para legislatif kita. Tidak salah memang, apa yang difatwakan oleh beberapa pengamat bahwa telah sering terjadi politik dagang sapi atau telah terjadi jual beli pasal dalam setiap etape pemerintahan di negeri ini.
Melihat fenomena pembuatan undang-undang seperti dicontohkan di atas, tidak heran kiranya jika akhir-akhir ini, banyak peraturan perundang-undangan yang roboh ketika dilakukan judicial review oleh beberapa pakar hukum kita. Hal ini tidak terlepas karena fondasi yang dijadikan pijakan dalam membuat undang-undang itu sendiri juga sangat rapuh dan keropos.
(terbit di HOKI 12 April 2012)


Description: Description: Description: Description: Description: Description: D:\FACE-FACE\mine\27072009(029).jpg
Description: Description: Description: Description: Description: Description: D:\FACE-FACE\mine\27072009(029).jpgDescription: Description: Description: Description: Description: Description: D:\FACE-FACE\mine\27072009(029).jpgDescription: Description: Description: Description: Description: Description: D:\FACE-FACE\mine\27072009(029).jpg
 Oleh: Siful Arifin, alumnus pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya



MENCARI PEMIMIPIN IDEAL

Benarkah menjadi pemimpin merupakan idaman setiap orang? Jika diamati, dalam konteks zaman ini maka menjadi pemimpin tidak hanya menjadi idaman tapi sudah menjadi sumbu nafsu keserakahan. Untuk menjadi seorang pemimipin apapun dikorbankan. Tidak hanya harta, harkat dan martabat diri sekalipun siap digadaikan, asal kekuasaan itu bisa digenggaman tangan.
Pemimpin sangat identik dengan kekuasaan. Dengan kekuasaan seorang pemimpin bisa tunjuk kanan, tunjuk kiri menyuruh bawahan. Inilah paradigma kepemimpinan yang dianut masyarakat kita.
Padahal kepemimpinan itu hakikatnya adalah pengabdian, pengorbanan, atau bahkan penderitaan. Dalam hal ini memimpin atau menjadi penguasa bukanlah menikmati atau minta dilayani tapi memimpin adalah berbagi dan melayani. Memimpin adalah menderita (leiden is lijden) begitulah pak Agus Salim berpesan kepada kita.
Tipologi  Kepemimpinan
Menjelang pemilu  tahun 2014, isu tentang kemimpinan sangat renyah untuk dijadikan topik pembicaraan. Media massa dan lembaga survei mengangkat tema kepemimpinan untuk dipasarkan. Krisis kepemimipinan menjadi latar untuk mengangkat isu kepemimpinan ke permukaan.
Banyak nama dimunculkan. Banyak istilah digunakan untuk mengklasifikasi tipologi kepemimpinan yang diidamkan. Ada yang menyebut pemimpin muda, pemimpin tua, ada juga istilah pemimipin alternatif dan lain sebagainya.
Pertanyaan mendasar yang harus kita jawab bersama adalah pemimpin seperti apa yang sebenarnya kita idamkan itu. Pemimipin yang gagah badannya tapi kerdil nyalinya atau pemimpin muda yang menyala-nyala semangatnya tapi minim pengalaman, gagasan dan strateginya. Jika kita masih waras maka kedua tipe kepemimpin diatas pasti tidak masuk dalam kriteria.
Dalam sebuah artikelnya, Thomas koten menyebut ada dua model kepemimpinan yang pernah menghiasi pentas dunia. Yakni, pemimipin yang baik (good leader) dan pemimpin yang gagah (great leader). Tentunya good leader dan great leader adalah tipologi kepemimpinan yang berbeda.
Good leader adalah seorang pemimpin yang baik yang mau melayani, mau berkorban dan lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi serta berlaku adil dan bijaksana. Nabi Muhammad dan 4 sahabatnya, Mahatma Ghandi dan Gus Dur adalah para pemimpin dunia yang bisa dikategorikan sebagai good leader ini.
Sementara, great leader bisa diartikan sebagai seorang pemimpin yang ingin mewujudkan keinginan pribadinya tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat pada umumnya. Namun sering kali pemimipin dengan karakter great leader ini selalu bersembunyi dibalik tabir untuk kepentingan bersama. Hitler, Stalin dan Napoleoan adalah para pemimipin dunia yang masuk dalam kategori ini.
Dari dua model kepemimpinan di atas, maka sebenarnya kita sedang mencari tipologi kepemimpinan yang pertama, yakni good leader. Tapi sayangnya, kita seringkali tergelincir, terpesona dan tertipu dengan gaya calon pemimpin yang tampil gagah perkasa dan sok bijaksana. Bahkan sering kali juga, kita menggadaikan cita-cita mulia hanya untuk kepentingan sementara.
Tentukan…!
Orang pintar, orang cerdas, orang hebat di negeri ini tak terhitung jumlahnya alias banyak sekali. Hitung saja berapa ribu profesornya, lain lagi jumlah doktor dan para sarjananya. Tapi mengapa, kita sangat sulit memilih satu orang saja untuk memimpin Negara ini.
Pesta demokrasi melalui pemilu 2014 nanti merupakan kesempatan bagi kita semua untuk menentukan nasib dan eksistensi bangsa ini ke depan. Oleh karena itu, marilah kita semua berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk berpartipasi dalam pemilu 2014 nanti dan memilih pemimipin yang berdiri di atas kepentingan rakyat bukan di atas kepentingan golongan.
 Dalam kondisi Negara yang semakin carut marut seperti sekarang ini sudah bukan saatnya lagi memilih pemimipin karena alasan agama, ras, suku atau ideology sekalipun. Marilah kita kedepankan hati nurani. Kita pilih pemimpin yang setia pada janji ibu pertiwi.
Bangsa ini tidak butuh pemimpin yang populis tapi butuh pemimpin spesialis. Pemimipin yang punya keahlian untuk mengangkat derajat, harkat dan martabat bangsa ini dari keterpurukan. Dan kita seluruh masyarakat Indonesia punya kewajiban untuk menentukan pemimpin yang bisa menjadi khalifah tuhan di bumi Indonesia ini.(pernah terbit di kabar madura)
 
Oleh: Siful Arifin, akademisi IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan peneliti muda di Arif Erdem foundation, Jawa Timur.



 KORUPSI DAN DEKONSTRUKSI  SISTEM BIROKRASI
 Oleh: Siful Arifin


Korupsi tidak akan pernah mati. Ia akan tetap abadi dan akan terus menggejala seriiring dengan denyut nadi manusia. Secara historis, korupsi dikenal oleh manusia semenjak ia mengenal relasi sosial yang berbasis uang dan alat tukar barang dari situlah korupsi mulai ditemukan. Perbedaanya dengan korupsi zaman sekarang mungkin hanya  kadar dan modusnya.
Dalam konteks Indonesia, korupsi bukan sesuatu yang baru. Jika memakai bahasa jurnalistik dalam melihat objek berita, korupsi bukan lagi peristiwa bukan juga kasus tapi sudah menjadi fenomena. Korupsi ada dimana-mana (omnipresence). Korupsi tumbuh dan berkembang dalam skala yang luas. Hampir di setiap sistem institusi dan birokrasi, tindakan a-moral ini dapat ditemukan baik dalam sistem politik, sosial, dan ekonomi.
Korupsi dan saudara kandungnya yang lain, kolusi dan nepotisme yang lebih dikenal dengan istilah KKN sudah mendarah daging dan menjadi banalitas yang dianggap biasa jika tidak ingin mengatakan KKN sudah menjadi tradisi dan budaya yang berurat-akar di negeri ini. Jadi, sangat wajar jika korupsi sulit dihilangkan. Korupsi seakan menjadi “karya kolektif” anak bangsa yang berlangsung secara sistematis mulai dari lapisan teratas sampai lapisan paling bawah. Siapa yang tidak kenal dengan istilah korupsi. Semua orang tahu korupsi ada dan terjadi dimana-mana dalam skala yang besar, tapi kita selalu kesulitan mencari bukti dan definisinya, kita seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Ketika orde baru di bawah komando Soeharto tumbang. Harapan akan lenyapnya korupsi dari bumi pertiwi sangat didamba-dambakan oleh setiap orang. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Korupsi semakin menggurita dan sulit dicari ujung pangkalnya. "Patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu" mungkin inilah pepatah yang cocok untuk menggambarkan korupsi yang sudah menjadi budaya dan menjadi “warisan” turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Perilaku korupsi sudah mengendap di lubuk kesadaran yang paling dalam. Korupsi sudah menguasai setiap dimensi kehidupan masyarakat di negeri ini. Layaknya sel kanker ganas karena akarnya yang sudah meluas, maka semakin dibabat semakin cepat penyebarannya.
Bukan hanya terjadi dalam birokrasi negara, tapi korupsi juga terjadi di lembaga-lembaga swasta bahkan juga sudah menjangkiti seluruh lapisan masyarakat kita. Sebuah kondisi yang sangat mengenaskan.
Korupsi tidak hanya  bermakna mengambil uang negara tapi korupsi juga bisa bermakna dan bermula dari perilaku koruptif yang cenderung kurang dipahami. Korupsi bisa berbentuk korupsi waktu, korupsi jabatan, korupsi kepercayaan, ataupun korupsi keimanan kepada Tuhan. Pada dasarnya, korupsi adalah perbuatan dhalim, perbuatan yang dilakukan atas dorongan hawa nafsu dan kosong dari nilai-nilai keimanan.
Dekonstruksi Sistem Birokrasi
Niat baik untuk memberantas korupsi nampaknya sulit diwujudkan. Tanpa mengurangi rasa hormat dan optimisme terhadap usaha yang dilakukan pemerintah, namun kita perlu mempertimbangkan dan merenungkan kembali di mana virus yang belabel korupsi itu sebenarnya bersemedi dan bermuara?. Sistem demokrasi di negeri ini yang membagi kekuasaan menjadi eksekutif, yudikatif dan legislatif nampaknya merupakan area tumbuh suburnya penyakit sosial ini.
Jika disegmentasikan maka eksekutif adalah sarang korupsi, yudikatif merupakan gudangnya dan legislatif adalah gerbongnya. Artinya, para pelaku dan pemberantas korupsi itu adalah orang yang sama atau hidup dalam ruang yang sama sehingga mereka sulit untuk mengidentifikasi siapa diri mereka sebenarnya. Jika demikian yang terjadi mungkinkah korupsi itu dapat diberantas? tanpa melakukan dekonstruksi terhadap proses dan format birokrasi kenegaraan seperti itu.
Dekonstruksi sendiri dalam perspektif Derrida (Haryatmoko, Basis 11-12, 2007), berarti pembebasan. Dalam bahasa penulis kaitannya dengan pembahasan ini dekonstruksi diartikan sebagai usaha pembenahan terhadap sesuatu yang sudah dianggap mapan atau lumrah. Dengan upaya dekonstruksi ini maka diharapkan ada perubahan yang lebih baik dibandingkan keadaan sebelumnya.
Tanpa bermaksud ingin menanamkan pesimisme, tapi pertanyaan ini selalu hadir. Sampai kapankah upaya pemberantasan korupsi ini hanya seperti tong kosong nyaring bunyinya?. Semua berteriak anti korupsi dan berantas korupsi sampai keakar-keakarnya tapi sampai saat ini hasilnya nihil. Maling teriak maling sehingga kita sulit menangkap maling yang sebenarnya. Kita sepertinya selalu terperosok dalam sumur tanpa dasar yang tidak pernah dapat menyentuh landasannya dengan tepat dan benar.
Jika ditelesuri kebanyakan pelaku korupsi adalah mereka yang ada di kursi birokrasi dari tingkat teratas sampai birokrasi terbawah. Pertanyaannya adalah  kenapa hal ini terjadi? Dan seakan sudah menjadi kebiasaan bahkan sudah berada pada level kewajaran.
Proses awal terpilihnya seseorang menjadi birokrat nampaknya menjadi cikal bakal perilaku korupsi itu terjadi. Sudah lazim di negeri ini, untuk menduduki kursi legislatif, yudikatif dan eksekutif  bahkan menjadi pegawai tingkat terendah sekalipun maka seseorang harus menyiapkan dana awal yang tidak sedikit. Dengan alasan karena telah mengeluarkan uang dengan jumlah yang besar tersebut maka kembali modal adalah kata kuncinya. Mengikis kebiasaan memilih atau dipilih karena uang ini merupakan kunci menuju masyarakat yang bersih dari korupsi.
Gaji yang “sedikit” dan tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan para kaum elit seperti sekarang ini juga melatarbelakangi terjadinya korupsi. Mereka tidak segan untuk memakai jalan instan seperi korupsi sebagai cara yang mujarab dan paling ampuh untuk menambal uang yang terkuras.
Sebenarnya gaji yang diterima oleh para pegawai negara ini sudah di atas rata-rata dibandingkan dengan penghasilan kebanyakan masyarakat di negeri ini. Hanya saja, gaya hidup hedonis-konsumeris para birokrasi kita perlu dikurangi atau memakai bahasa dalam tulisan ini perlu didekonstruksi.
Selain itu, formasi birokrasi yang terlalu gemuk dan tidak produktif juga menjadi pemicu seseorang menjadi koruptor. Aliran dana yang memakai sistem terminal juga sangat berpotensi terjadinya korupsi. Seperti air yang dialirkan dari satu timba ke timba yang lain dengan memakai selang maka air tersebut akan berkurang karena sedikit demi sedikit menempel di setiap tepi selang tersebut. Begitu juga aliran dana yang memakai sistem terminal.
Jual beli pasal dan tukar guling kepentingan dalam ruang-ruang kerja merupakan wajah lain dari birokrasi dan parlemen. Komunitas parlemen yang banyak dihuni oleh beberapa konglemarat dari golongan pemodal dan pebisnis juga sering menyalip kepentingan rakyat yang sering kali dipinggirkan. Yang paling parah adalah kebijakan pemerintah yang seringkali mengganti suara rakyat dengan suara para investor.
Melihat kondisi birokrasi seperti sekarang ini maka sulit rasanya negara ini akan bebas dari penyakit korupsi. Untuk itu, sudah saatnya kita melakukan dekonstruksi terhadap proses dan formasi sistem birokrasi dengan melakukan transparansi perekrutan, pengangkatan atau terhadap proses dan cara kerja birokrasi itu sendiri. Jika tidak, maka sebenarnya kita sedang membiarkan negeri ini bangkrut dan punah akibat perilaku anak bangsanya sendiri terutama mereka yang ada dalam lingkar setan kekuasan. (terbit di media online harian online kabar indonesia)
Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya dan salah satu pendiri komunitas intelektual (Komunal) Surabaya



ANOMALI DEMOKRASI KITA 

Dalam demokrasi, rakyat adalah raja. Dalam demokrasi, suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi, vox dei). Tapi tidak di negeri ini. Rakyat adalah sang hamba dan suaranya adalah suara setan. Terkecuali dalam ritual pemilihan umum (pemilu), suara rakyat (mencoblos kertas suara) sangat didambakan. Setelahnya, suara rakyat (hati nurani) tak lebih hanya dianggap hasutan.
Di negeri ini, Demokrasi telah menjadi pilihan untuk mencapai kejayaan dalam berbangsa dan bernegara tapi semuanya tak berjalan seperti yang diharapkan. Bukan kesejahteraan, bukan keamanan bukan pula kedamaian yang ditemukan, tapi demokrasi telah membiakkan kegaduhan, menyuburkan kekerasan serta melanggengkan kesengsaraan. Inilah fenomena demokrasi Indonesia masa kini-.
Napak tilas sistem demokrasi di negeri ini berujung pada kegagalan. Dari demokrasi terpimmpin hingga demokrasi authoritarian ala demokrasi pancasila. Demokrasi pasca reformasipun demikian. Nampaknya, hal ini terjadi karena demokrasi politik tidak dibarengi dengan demokrasi ekonomi maka yang terjadi adalah ketimpangan. Pesta pora demokrasi politik selalu diagendakan, namun agenda demokrasi ekonomi tak pernah muncul kepermukaan. Dalam demokrasi politik rakyat selalu aktif dilibatkan sedangkan dalam demokrasi ekonomi rakyat dinistakan dan dianak tirikan. Dalam setiap pergantian kekuasaaan rakyat dianggap cerdas menentukan pilihan namun dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam pembuatan undang-undang rakyat selalu dibodoh-bodohkan sehingga dalam musyawarahpun tak pernah diikut sertakan  
Tapi kenapa semua ini bisa terjadi? Kita, pastilah mempunyai jawaban tersendiri. Bukan karena kita pintar bukan pula karena kita paham demokrasi. Tapi kondisi yang kita alami saat ini adalah jawaban dari pertanyaan tadi. Artinya demokrasi kita adalah demokrasi tanpa happy ending, but, always sad ending. Titik.
Kegagalan demokrasi di negeri ini tak lepas dari berkuasanya para mafia politik yang bersembunyi dibalik tirai demokrasi. Transparansi, akuntabiltas serta keterbukaan- sebagai penyangga utama pohon demokrasi berganti wajah menjadi korupsi, manipulasi dan konspirasi antar elit politik yang berkuasa-yang juga melibatkan para pengusaha-. Inilah penyebab ambruknya bangunan demokrasi kita.
Ketika kepentingan rakyat dinomerduakan dan kepentingan para kapital diutamakan maka demokrasi menjadi sumir tak berarti. Demokrasi hanya menjadi ilusi para generasi. Ia seperti ayat suci yang diletakkan dibawah kaki. Tak berharga, dan tak sakral lagi. Pada akhirnya, demokrasi akan dikubur tanpa rekam jejak prestasi.
Rakyat; Posisi dan Fungsinya
Sudah semestinya dalam sistem demokrasi, rakyat tidak diperlakukan sebagai anak tiri. Rakyat adalah penguasa tradisional. Sedangkan pemerintah adalah penguasa professional-prosedural. Dalam hal ini penguasa tradisional mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari penguasa prosedural. Karena demikian, penguasa prosedural dipilih dan ditentukan oleh penguasa tradisional. Oleh sebab itu, setiap kebijakan yang diambil oleh penguasa prosedural (pemerintah) semestinya harus atas restu penguasa tradisional (rakyat). Dengan kata lain. Setiap kebijakan pemerintah harus berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat dan rakyat seluruhnya. Inilah hakikat slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Kini, sudah saatnya kita menata kembali sistem dan tradisi berdemokrasi kita dalam bernegara. Semestinya, dalam demokrasi, pengambilan kebijakan tidak hanya bersifat top-down (pemerintah-rakyat) tapi juga bersifat bottom-up (rakyat-pemerintah). Dengan demikian, maka akan terjadi simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) antar rakyat dan pemerintah. Tanpa harus saling menegasikan antara satu dengan yang lainnya.
Namun yang terjadi selama ini, rakyat hanya ikut berpartisipasi dalam menentukan perwakilannya saja melalui mekanisme demokrasi politik yang disebut pemilihan umum (pemilu). Selanjutnya, rakyat alpa atau memang sengaja dialpakan dalam menentukan arah dan proses demokrasi berikutnya. Sementara disisi lain, para politisi (wakil rakyat) lebih tunduk pada partai dari pada mengutamakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Terjadinya hal ini akan berdampak kuat terhadap robohnya nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Inilah wajah demokrasi kita selama ini. Demokrasi tuna aspirasi, tuna partisipasi dan demokrasi kaya konspirasi, kaya politisasi serta gemuk korupsi.
Berkaca pada dinamika demokrasi Indonesia saat ini maka sesungguhnya, demokrasi memang tak sempurna, ada sejumlah cacat di dalamnya, tapi bagaimanapun demokrasi masih merupakan sistem yang terbaik dari sistem yang ada. Sejumlah ilmuwan politik mengatakan bahwa sistem politik demokrasi digunakan bukan karena ia adalah sistem politik terbaik, melainkan karena sistem tersebut adalah sistem yang buruk, tetapi yang lain lebih buruk.
Demokrasi layaknya “agama” jika terjadi masalah dalam demokrasi, yang patut di-per-salahkan bukan demokrasi itu sendiri tapi lebih kepada proses dan aktor-aktor yang ada di dalamnya. Akhirnya, marilah kita menjadi orang yang paham demokrasi bukan hanya sekedar tahu demokrasi. (pernah terbit di harian kabar Madura )
Oleh: Siful Arifin, akademisi IAIN Sunan Ampel Surabaya


SI PAUL'S LIBRARY

Foto saya
Sampang, Jawa timur, Indonesia
Seorang manusia yang akan terus belajar di kampus kehidupan tanpa batas waktu kecuali tuhan sudah merindukan

Categories

Laman

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Recent Posts

Popular Posts

Arsip