ANOMALI
DEMOKRASI KITA
Dalam demokrasi,
rakyat adalah raja. Dalam demokrasi, suara rakyat adalah suara tuhan (vox
populi, vox dei). Tapi tidak di negeri ini. Rakyat adalah sang hamba dan
suaranya adalah suara setan. Terkecuali dalam ritual pemilihan umum (pemilu), suara
rakyat (mencoblos kertas suara) sangat didambakan. Setelahnya, suara rakyat
(hati nurani) tak lebih hanya dianggap hasutan.
Di negeri ini,
Demokrasi telah menjadi pilihan untuk mencapai kejayaan dalam berbangsa dan bernegara
tapi semuanya tak berjalan seperti yang diharapkan. Bukan kesejahteraan, bukan
keamanan bukan pula kedamaian yang ditemukan, tapi demokrasi telah membiakkan
kegaduhan, menyuburkan kekerasan serta melanggengkan kesengsaraan. Inilah fenomena
demokrasi Indonesia masa kini-.
Napak tilas sistem
demokrasi di negeri ini berujung pada kegagalan. Dari demokrasi terpimmpin
hingga demokrasi authoritarian ala demokrasi pancasila. Demokrasi pasca
reformasipun demikian. Nampaknya, hal ini terjadi karena demokrasi politik
tidak dibarengi dengan demokrasi ekonomi maka yang terjadi adalah ketimpangan.
Pesta pora demokrasi politik selalu diagendakan, namun agenda demokrasi ekonomi
tak pernah muncul kepermukaan. Dalam demokrasi politik rakyat selalu aktif
dilibatkan sedangkan dalam demokrasi ekonomi rakyat dinistakan dan dianak
tirikan. Dalam setiap pergantian kekuasaaan rakyat dianggap cerdas menentukan
pilihan namun dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam
pembuatan undang-undang rakyat selalu dibodoh-bodohkan sehingga dalam musyawarahpun
tak pernah diikut sertakan
Tapi kenapa
semua ini bisa terjadi? Kita, pastilah mempunyai jawaban tersendiri. Bukan
karena kita pintar bukan pula karena kita paham demokrasi. Tapi kondisi yang
kita alami saat ini adalah jawaban dari pertanyaan tadi. Artinya demokrasi kita
adalah demokrasi tanpa happy ending, but, always sad ending.
Titik.
Kegagalan demokrasi
di negeri ini tak lepas dari berkuasanya para mafia politik yang bersembunyi
dibalik tirai demokrasi. Transparansi, akuntabiltas serta
keterbukaan- sebagai penyangga utama pohon demokrasi berganti wajah menjadi korupsi,
manipulasi dan konspirasi antar elit politik yang berkuasa-yang juga melibatkan
para pengusaha-. Inilah penyebab ambruknya bangunan demokrasi kita.
Ketika
kepentingan rakyat dinomerduakan dan kepentingan para kapital diutamakan
maka demokrasi menjadi sumir tak berarti. Demokrasi hanya menjadi ilusi para
generasi. Ia seperti ayat suci yang diletakkan dibawah kaki. Tak berharga, dan
tak sakral lagi. Pada akhirnya, demokrasi akan dikubur tanpa rekam jejak
prestasi.
Rakyat;
Posisi dan Fungsinya
Sudah
semestinya dalam sistem demokrasi, rakyat tidak diperlakukan sebagai anak tiri.
Rakyat adalah penguasa tradisional. Sedangkan pemerintah adalah penguasa professional-prosedural.
Dalam hal ini penguasa tradisional mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari
penguasa prosedural. Karena demikian, penguasa prosedural dipilih dan
ditentukan oleh penguasa tradisional. Oleh sebab itu, setiap kebijakan yang
diambil oleh penguasa prosedural (pemerintah) semestinya harus atas restu
penguasa tradisional (rakyat). Dengan kata lain. Setiap kebijakan pemerintah
harus berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat dan rakyat
seluruhnya. Inilah hakikat slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat”.
Kini,
sudah saatnya kita menata kembali sistem dan tradisi berdemokrasi kita dalam
bernegara. Semestinya, dalam demokrasi, pengambilan kebijakan tidak hanya
bersifat top-down (pemerintah-rakyat) tapi juga bersifat bottom-up
(rakyat-pemerintah). Dengan demikian, maka akan terjadi simbiosis mutualisme
(saling menguntungkan) antar rakyat dan pemerintah. Tanpa harus saling
menegasikan antara satu dengan yang lainnya.
Namun
yang terjadi selama ini, rakyat hanya ikut berpartisipasi dalam menentukan
perwakilannya saja melalui mekanisme demokrasi politik yang disebut pemilihan
umum (pemilu). Selanjutnya, rakyat alpa atau memang sengaja dialpakan dalam
menentukan arah dan proses demokrasi berikutnya. Sementara disisi lain, para
politisi (wakil rakyat) lebih tunduk pada partai dari pada mengutamakan
kepentingan rakyat yang diwakilinya. Terjadinya hal ini akan berdampak kuat
terhadap robohnya nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Inilah wajah demokrasi
kita selama ini. Demokrasi tuna aspirasi, tuna partisipasi dan demokrasi kaya
konspirasi, kaya politisasi serta gemuk korupsi.
Berkaca
pada dinamika demokrasi Indonesia saat ini maka sesungguhnya, demokrasi memang
tak sempurna, ada sejumlah cacat di dalamnya, tapi bagaimanapun demokrasi masih
merupakan sistem yang terbaik dari sistem yang ada. Sejumlah ilmuwan politik
mengatakan bahwa sistem politik demokrasi digunakan bukan karena ia adalah
sistem politik terbaik, melainkan karena sistem tersebut adalah sistem yang
buruk, tetapi yang lain lebih buruk.
Demokrasi
layaknya “agama” jika terjadi masalah dalam demokrasi, yang patut
di-per-salahkan bukan demokrasi itu sendiri tapi lebih kepada proses dan
aktor-aktor yang ada di dalamnya. Akhirnya, marilah kita menjadi orang yang
paham demokrasi bukan hanya sekedar tahu demokrasi. (pernah terbit di harian kabar
Madura )
Oleh:
Siful Arifin, akademisi IAIN Sunan Ampel Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar