Selasa, 27 Agustus 2013



ANOMALI DEMOKRASI KITA 

Dalam demokrasi, rakyat adalah raja. Dalam demokrasi, suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi, vox dei). Tapi tidak di negeri ini. Rakyat adalah sang hamba dan suaranya adalah suara setan. Terkecuali dalam ritual pemilihan umum (pemilu), suara rakyat (mencoblos kertas suara) sangat didambakan. Setelahnya, suara rakyat (hati nurani) tak lebih hanya dianggap hasutan.
Di negeri ini, Demokrasi telah menjadi pilihan untuk mencapai kejayaan dalam berbangsa dan bernegara tapi semuanya tak berjalan seperti yang diharapkan. Bukan kesejahteraan, bukan keamanan bukan pula kedamaian yang ditemukan, tapi demokrasi telah membiakkan kegaduhan, menyuburkan kekerasan serta melanggengkan kesengsaraan. Inilah fenomena demokrasi Indonesia masa kini-.
Napak tilas sistem demokrasi di negeri ini berujung pada kegagalan. Dari demokrasi terpimmpin hingga demokrasi authoritarian ala demokrasi pancasila. Demokrasi pasca reformasipun demikian. Nampaknya, hal ini terjadi karena demokrasi politik tidak dibarengi dengan demokrasi ekonomi maka yang terjadi adalah ketimpangan. Pesta pora demokrasi politik selalu diagendakan, namun agenda demokrasi ekonomi tak pernah muncul kepermukaan. Dalam demokrasi politik rakyat selalu aktif dilibatkan sedangkan dalam demokrasi ekonomi rakyat dinistakan dan dianak tirikan. Dalam setiap pergantian kekuasaaan rakyat dianggap cerdas menentukan pilihan namun dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam pembuatan undang-undang rakyat selalu dibodoh-bodohkan sehingga dalam musyawarahpun tak pernah diikut sertakan  
Tapi kenapa semua ini bisa terjadi? Kita, pastilah mempunyai jawaban tersendiri. Bukan karena kita pintar bukan pula karena kita paham demokrasi. Tapi kondisi yang kita alami saat ini adalah jawaban dari pertanyaan tadi. Artinya demokrasi kita adalah demokrasi tanpa happy ending, but, always sad ending. Titik.
Kegagalan demokrasi di negeri ini tak lepas dari berkuasanya para mafia politik yang bersembunyi dibalik tirai demokrasi. Transparansi, akuntabiltas serta keterbukaan- sebagai penyangga utama pohon demokrasi berganti wajah menjadi korupsi, manipulasi dan konspirasi antar elit politik yang berkuasa-yang juga melibatkan para pengusaha-. Inilah penyebab ambruknya bangunan demokrasi kita.
Ketika kepentingan rakyat dinomerduakan dan kepentingan para kapital diutamakan maka demokrasi menjadi sumir tak berarti. Demokrasi hanya menjadi ilusi para generasi. Ia seperti ayat suci yang diletakkan dibawah kaki. Tak berharga, dan tak sakral lagi. Pada akhirnya, demokrasi akan dikubur tanpa rekam jejak prestasi.
Rakyat; Posisi dan Fungsinya
Sudah semestinya dalam sistem demokrasi, rakyat tidak diperlakukan sebagai anak tiri. Rakyat adalah penguasa tradisional. Sedangkan pemerintah adalah penguasa professional-prosedural. Dalam hal ini penguasa tradisional mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari penguasa prosedural. Karena demikian, penguasa prosedural dipilih dan ditentukan oleh penguasa tradisional. Oleh sebab itu, setiap kebijakan yang diambil oleh penguasa prosedural (pemerintah) semestinya harus atas restu penguasa tradisional (rakyat). Dengan kata lain. Setiap kebijakan pemerintah harus berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat dan rakyat seluruhnya. Inilah hakikat slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Kini, sudah saatnya kita menata kembali sistem dan tradisi berdemokrasi kita dalam bernegara. Semestinya, dalam demokrasi, pengambilan kebijakan tidak hanya bersifat top-down (pemerintah-rakyat) tapi juga bersifat bottom-up (rakyat-pemerintah). Dengan demikian, maka akan terjadi simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) antar rakyat dan pemerintah. Tanpa harus saling menegasikan antara satu dengan yang lainnya.
Namun yang terjadi selama ini, rakyat hanya ikut berpartisipasi dalam menentukan perwakilannya saja melalui mekanisme demokrasi politik yang disebut pemilihan umum (pemilu). Selanjutnya, rakyat alpa atau memang sengaja dialpakan dalam menentukan arah dan proses demokrasi berikutnya. Sementara disisi lain, para politisi (wakil rakyat) lebih tunduk pada partai dari pada mengutamakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Terjadinya hal ini akan berdampak kuat terhadap robohnya nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Inilah wajah demokrasi kita selama ini. Demokrasi tuna aspirasi, tuna partisipasi dan demokrasi kaya konspirasi, kaya politisasi serta gemuk korupsi.
Berkaca pada dinamika demokrasi Indonesia saat ini maka sesungguhnya, demokrasi memang tak sempurna, ada sejumlah cacat di dalamnya, tapi bagaimanapun demokrasi masih merupakan sistem yang terbaik dari sistem yang ada. Sejumlah ilmuwan politik mengatakan bahwa sistem politik demokrasi digunakan bukan karena ia adalah sistem politik terbaik, melainkan karena sistem tersebut adalah sistem yang buruk, tetapi yang lain lebih buruk.
Demokrasi layaknya “agama” jika terjadi masalah dalam demokrasi, yang patut di-per-salahkan bukan demokrasi itu sendiri tapi lebih kepada proses dan aktor-aktor yang ada di dalamnya. Akhirnya, marilah kita menjadi orang yang paham demokrasi bukan hanya sekedar tahu demokrasi. (pernah terbit di harian kabar Madura )
Oleh: Siful Arifin, akademisi IAIN Sunan Ampel Surabaya


0 komentar:

Posting Komentar

SI PAUL'S LIBRARY

Foto saya
Sampang, Jawa timur, Indonesia
Seorang manusia yang akan terus belajar di kampus kehidupan tanpa batas waktu kecuali tuhan sudah merindukan

Categories

Laman

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Recent Posts

Popular Posts

Arsip