Minggu, 18 September 2011


AHMADIYAH; DALAM SIMPUL-SIMPUL KEKERASAN STRUKTURAL
Kekerasan itu merupakan tindakan dan pekerjaan mengganggu fisik dan psikis, psikologis seseorang. Jadi, diskriminasi, marginalisasi, rasisme, ke (pe)miskinan, kelaparan, eksploitasi merupakan wajah lain dari kekerasan.
Secara definitif-simplisistik kekerasan selalu dimanifestasikan dalam bentuk tindakan pembunuhan, peperangan, merusak, melukai dan juga membuat kekacauan melakukan teror dan pengerusakan. Padahal kekerasan itu sangat bervariasi bentuknya. Fenomena yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan ini sangat banyak jumlahnya. Kekerasan itu merupakan tindakan dan pekerjaan mengganggu fisik dan psikis, psikologis seseorang. Jadi, diskriminasi, marginalisasi, rasisme, ke (pe) miskinan, kelaparan, eksploitasi merupakan wajah lain dari kekerasan.
Melihat tingginya intensitas kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini membuat kita miris dan sering mengerutkan dahi. Tidak hanya teroris, penjahat, perampok, majikan atau pembunuh bayaran yang identik dengan kekerasan. Tapi seorang pejabat, ulama, intelektual, dan juga anak kecil, orang dewasa, orang tua atau nenek kita, bahkan anggota badan kita sendiri semua berpotensi untuk melakukan kekerasan. Motif yang melatar belakanginya pun berbeda-beda. Sosial-ekonomi-politik-ideologi saling tumpang tindih dalam menupang terjadinya ritme dan panorama kekerasan yang ada.
Dalam ruang yang relatif amanpun seperti Rumah, Istana, Masjid, Gereja, penjara dan ditempat-tempat aman lainnya, kekerasan itu selalu berpotensi untuk menyapa dan mengisi ruang interaksi antar sesama. Kekerasan itu ada dan datang dari /di manapun dia akan muncul (omnipresent) begitulah Foucault menyebutnya.
Bumi pertiwi ini kaya dengan kekerasan. Perlahan tapi pasti, "budaya kekerasan" terus berkembangbiak entah dalam bentuk tindakan pengrusakan (destructiveness) atau dalam bentuk kekerasan (violence). Ironisnya, hal ini menjadi kebenaran legimitatif dalam kehidupan masyarakat kita.
Di tahun ini saja kekerasan sudah terjadi berulang kali dengan motif dan modus yang berbeda-beda. Penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Pandegelang Banten, penyerangan pondok pesantren di pasuruan Jawa timur dan bom buku di Jakarta serta penggusuran pedagang kaki lima (PKL) serta penyiksaan dan bunuh diri yang dialami TKI dan warga miskin lainnya merupakan sekelumit kekerasan yang menjadi catatan hitam dari lembaran demokrasi dinegeri ini.  
SKB vs Ahmadiyah
Di satu sisi “negara” (pemerintah) telah melakukan kekerasan yang oleh Johan Galtung dalam tipologi segitiga kekerasannya disebut sebagai kekerasan struktural (structural violence) atau dalam kategorisasi kekerasan yang lain disebut kekerasan represif terhadap warganya. Negara telah menggoreskan tinta ketidakadilan regulatif-sistemik dengan terus melakukan eksploitasi-diskriminasi dan marginalisasi terhadap kelompok minoritas. Hak-hak sipil warga negara seperti hak kebebasan beragama, berpikir, berekspresi dan hak diperlakukan sama didepan hukum telah dirampas oleh negara dengan regulasi dan kebijakan yang timpang.
Adanya struktur yang eksploitatif menupang sustanaibilitas "budaya kekerasan" di tengah masyarakat. Meminjam istilah Amien Rais, masyarakat ibarat rumput kering yang akan terbakar sendiri, tanpa atau dengan keterlibatan aksi para avonturir politik dalam menyulut apinya. Hal ini terjadi karena struktur ekonomi, sosial, politik dan agama yang timpang rentan menyimpan ketidakpuasan-ketidakpuasan. Semakin lama rasa tidak puas itu ditahan dan dipendam dan tidak menemukan katalisatornya, maka, bukan mustahil rakyat akan menyalurkannya menurut cara dan bahasanya sendiri.
 Surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri dan Peraturan Pemerintah Daerah (PERDA) Gubernur yang memuat larangan terhadap segala aktivitas Ahmadiyah adalah salah satu contoh nyata dari kekerasan sistemik yang dilakukan oleh negara terhadap minoritas warganya. Kekerasan seperti inilah yang lebih berbahaya dan lebih kejam dari pada kekerasan secara fisik, karena model kekerasan seperti ini merupakan cikal bakal dan akar munculnya kekerasan fisik. Selain itu, kebutuhan dasar manusia (human needs) seperti kedamaian, ketenangan, keamanan yang ada dalam spritualitas agama sulit diakses dan tidak bisa dinikmati akibat dari “pseudo” kekerasan ini.
Menurut hemat penulis SKB dan PERDA Gubernur tentang pelarangan aktivitas Ahmadiyah merupakan bentuk kekerasan subtantif-abstraktif yang akan terus menerus menggejala dan berpotensi memantik munculnya tipologi-tipologi kekerasan lainnya. Disamping itu, solusi seperti ini bukanlah win-win solution karena masih ada orang atau kelompok yang dirugikan.
Jika saja Michael Foucault (1926-1984), salah satu filosof Perancis abad ke 20 yang dikenal sebagai pemikir postmodernisme atau post strukturalis masih hidup dan berada di Indonesia serta melihat penjinakan yang dilakukan oleh negara terhadap Ahmadiyah, pasti dia akan memasukkan fenomena pelarangan ini sebagai sampel untuk memperkuat analisisnya dalam membuat bukunya yang berjudul Disipiline and Punish: The Birth Of The Prison (1977). Dalam analisisnya tersebut dia mengatakan bahwa terjadi pergeseran pemberian hukuman yang merupakan salah satu praktek penjinakan penguasaan terhadap tubuh (docile body), pemikiran dan pengetahuan dari yang bersifat konkret ke ruang yang lebih abstrak.
 Dalam perspektif Foucault kasus SKB dan PERDA vs Ahmadiyah, negara tidak lagi menyiksa dan menyentuh tubuh sebagai balasan dari pelanggaran seseorang, melainkan bersifat mendisiplinkan dan melakukan pengawasan (survelence) melalui penyegelan dan pengkondisian tempat-tempat ibadah yang ada hubungannnya dengan Ahmadiyah. Bukankah ini lebih kejam! Tidakkah ini melanggar titah Undang-Undang Dasar yang mengamanatkan untuk memberi kebebasan dan melindungi setiap warganya dari hal-hal yang berpotensi merampas hak-hak mereka sebagai warga yang wajib dilindungi.
Nampaknya, apa yang dikatakan oleh Darwin “survival of the fittest” (yang terkuatlah yang akan hidup) dan apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) menemukan relevansinya dalam fenomena penyerangan dan larangan terhadap aktivitas Ahmadiyah yang dilakukan oleh kelompok dominan-mayoritas.
Di samping itu, kasus Ahmadiyah menunjukan bahwa amanat UUD, PANCASILA, dan titah Burung Garuda dengan pesan agungnya BHINNEKA TUNGGAL IKA sebagai ruh bangsa telah diabaikan dan kehilangan kesaktian dan sakralitasnya.

Sadar Kekerasan
Walaupun setiap manusia menyimpan potensi kekerasan. Bukan berarti tindakan kekerasan itu diamini dan dibenarkan oleh nilai-nilai kemanusiaan. Kita hanya kalah dengan kepentingan sesaat yang selalu datang tak diundang. Kekerasan demi kekerasan yang merambah di(ke)seluruh negeri nampaknya sudah menjadi sebuah banalitas yang dianggap biasa dan sah dilakukan oleh siapa saja. Jika saja mindset seperti ini terus berkembang maka bukan sebuah kemustahilan jika bangsa ini akan bubar diterpa tsunami kekerasan yang menghantam seluruh negeri. Dan kita akan selalu disuguhi oleh bau amis darah saudara-saudara kita sendiri.
Oleh karena itu, pemerintah dan para kaum elit lainnya harus menyadari bahwa mereka sedang memproduksi dan mengarsiteki terjadinya kekerasan-kekerasan dinegeri ini dengan berbagai kebijakannya. Salah satunya dengan peraturan pelarangan Ahmadiyah. Di samping itu, seluruh anak bangsa ini harus mempunyai kesadaran dan sikap proaktif untuk memutus spiral kekerasan dalam bentuk apapun. Salam Perdamaian!

Oleh: Siful Arifin
Penulis adalah alumni Tarbiyah (PAI) IAIN Surabaya, sekarang penghuni pondok kajian “komunal” Sampang.

Jumat, 09 September 2011


MENYELAMI MAKNA PUASA§
(Menyingkap Dimensi Lain Dibalik di”Syari’ahkan”nya Puasa)
Oleh: Siful Arifin©
Setiap ibadah[1] mempunyai dimensi ke-Ilahian dan dimensi kemanusiaan. Ibadah merupakan manifestasi dari pengabdian manusia kepada Tuhannya dalam posisinya sebagai ‘abdullah (kesadaran eksistensi). Di samping itu, ibadah juga mempunyai efek konsekuensional  yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (yang dalam bahasa fiqh-nya disebut maslahatul ummah), baik dalam konteks individual maupun sosial. Dalam bentuk inilah ibadah merupakan aktualisasi manusia dalam menjalankan mandatnya sebagai khalifatullah (kesadaran fungsi).
Sebagai contoh ibadah shalat, yang diawali dengan takbirat-u’l-ihram dan diakhiri dengan salam.  Menurut beberapa mufassir klasik-kontemporer, Diawalinya shalat dengan takbirat-u’l-ihram merupakan simbolisasi vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan) yang mengharuskan orang untuk melakukan pemutusan diri dari sesuatu yang tidak berhubungan dengan Allah Swt. Kemudian shalat diakhiri dengan salam (ke kanan dan ke kiri) sebagai simbol bahwa orang yang melakukan shalat akan senantiasa meng-arsiteki dan memproduksi kebajikan dengan cara beramal saleh atau kerja kemanusiaan (social work) kepada setiap manusia (bukan hanya beramal saleh kepada umat muslim saja, tapi juga kepada umat non-muslim, “jika saja kategorisasi ini mau dipakai”. Karena mereka (non-muslim; Yahudi, Nasrani) juga dijamin kehidupan akhiratnya (masadepannya) oleh Allah Swt.) [2] Dalam bahasa yang lain penulis ingin mengatakan bahwa bagi mereka para kaum Yahudi dan Nasrani juga akan disediakan surga (swarga; Sansakerta: kebahagian). Inilah yang dimaksud oleh penulis bahwa ibadah mempunyai efek konsekuensional.
  Sebagaimana ibadah-ibadah yang lain puasa juga mempunyai dimensi vertikal-intrinsik dan horisontal-konsekuensional yang bersifat individual maupun sosial. Secara vertikal puasa sangat erat hubungannya dengan dimensi ketuhanan dan sangat pribadi. Allah dalam hadith qudsi berfirman:   الصوم لى وانا اجزى به
Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Puasa serta rukun Islam lainnya yang diyakini merupakan perintah Tuhan yang terakumulasi dalam agama –lebih spesifiknya dalam syari’ah-fiqh- merupakan rukun dan doktrin yang wajib ditunaikan jika seseorang ingin disebut sebagai orang Islam. Doktrin arkanul Islam -yang secara praktek termaktub dalam fiqh- sangat kuat bagi para penganutnya. Sehingga fenomena masyarakat muslim menunjukan adanya kecenderungan melakukan ibadah-ibadah termasuk dalam hal ini puasa- hanya karena tendensi atau alasan adanya perintah agama (Tuhan (Al-Qur’an),-Nabi (hadith), -Ulama (fiqh), Leluhur (tradisinya). TITIK). Asumsi ini segaris dengan fenomena yang terjadi di masyarakat ketika ditanya kenapa antum melakukan shalat, puasa, zakat, haji.? Jawabnya perintah Tuhan. Ada juga yang menjawab perintah Nabi. ada juga yang ditanya kenapa antum melakukan qunut diwaktu shalat shubuh? Jawabnya, karena ikut perintahnya Imam Syafi’i. Yang lebih unik lagi ketika seorang ditanya kenapa antum membakar kemenyan? Jawabnya karena dari dulu leluhur kami melakukan tradisi seperti ini.[3] Sangat sedikit dari mereka “umat Islam” yang melihat perintah-perintah tuhan ini dari dimensi yang lain. Seperti melihat (syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji) dari dimensi psikologi, spritual, medis, sosiologis dan ekonomis. Di sinilah letak dan posisi syari’ah ataupun fiqh sebagai media formalisasi dan legalisasi dari adanya perintah Tuhan mempunyai pengaruh dan posisi yang sangat kuat bagi umat Islam.
History Of Fasting
Kata “puasa” yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia secara generik berarti “pengendalian diri” (self control/self denial)) kata ini diambil dari bahasa Sansakerta mempunyai arti yang sama dengan kata “shawm” dalam bahasa Arab. Pengendalian diri yang dimaksud adalah pengendalian diri atas dorongan berlaku tamak dan pengendalian diri dari berlaku dosa.[4] Pengendalian diri yang demikian yang akan menjadi benteng tangguh manusia agar tidak berada dalam kejatuhan moral dan spiritual. Namun penulis, lebih memilih mengartikan puasa sebagai “perbuatan menunda”. Hal ini karena, pada umumnya orang yang berpuasa tidak melakukan tiga hal yakni makan, minum, seks pada waktu tertentu. Cak Nur juga menjelaskan bahwa puasa itu hakikatnya adalah menunda kesenangan untuk sementara waktu.
Masalah menahan diri-yang menjadi inti ajaran puasa-sebenarnya, kalau saja mau dikaji, erat kaitannya dengan drama kosmis atau peristiwa kejatuhan Adam dari surga ke bumi. Dikisahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 35-39  bahwa Adam sebagai simbol “manusia pertama”, diizinkan oleh Allah untuk menikmati apa saja yang ada di Surga tapi kemudian, dia dikeluarkan dari jannah (kebun)-yang dalam masyarakat kita disebut sebagai surga- karena dia tidak bisa menahan diri (puasa) dari larangan Allah untuk tidak memakan buah khuldi.[5] Dosa ketamakan Adam ini pada akhirnya membuat dia dan keluarganya diusir dari taman Firdaus. Al-qur’an mengistilahkan peristiwa ini dengan idiom al-hubut atau dalam bahasa seberang (Inggris) diistilahkan dengan doctrine of fall.[6] Iqbal menyebut peristiwa ini dengan istilah the Qur’anic legend of the fall atau the fall of man.[7] Skenario dan drama  diusirnya Adam dan istrinya dari jannah (kebun) diilustrasikan dengan baik nan indah dalam Al-qur’an.[8]
Dari sinilah kita dapat mengambil hikmah bahwa secara historis-simbolik puasa sudah diperintahkan kepada Nabi Adam ketika Adam dan keluarganya masih ada di surga. Orang Yunani, Romawi, Mesir Kuno juga mempunyai tradisi puasa untuk mneghormati para dewanya. Nah, penjelasan ini memberikan gambaran pada kita bahwasanya tradisi puasa bukanlah tradisi yang lahir dari Islam yang dibawa Muhammad. Tapi, tradisi yang sudah lama berlangsung dalam lintas sejarah keber-agamaan manusia. Kemudian, puasa mengalami modifikasi, re-formulasi orientasi tujuan pada masa Nabi agung yang bernama Muhammad yang “katanya”berlangsung sampai sekarang ini.
Puasa Sebagai Anugerah
Puasa selain sebagai perintah, sebenarnya juga merupakan anugerah Tuhan. Puasa dianggap sebagai anugerah, karena puasa mengandung berbagai hikmah bagi kehidupan manusia, baik hikmah yang bersifat individual maupun sosial.
Dalam dimensi individual puasa mempunyai hikmah fisik, psikis, biologis,  spritual, moral, medik dll. Umpamakan jiwa dan raga kita ini seperti motor yang kita pakai setiap hari. Jika tidak pernah diservis, ditune-up, dan tidak pernah dibersihkan. Maka bisa dipastikan beberapa tahun kedepan kita harus ganti motor yang baru. Kalau motor itu tubuh kita, maka mau diganti dengan apa, padahal di toko tidak ada yang jual spare-part tubuh manusia. Nah, disinilah puasa ramadhan berfungsi sebagai media untuk meng-up-date dan men-service jiwa dan raga kita.
Selain itu, Ramadhan juga merupakan sekolah bagi jiwa-raga, jasmani-rohani kita. Di bulan inilah kejujuran, kesabaran, kepercayaan, ketundukan kita dibina dan diuji oleh Allah Swt. Ibarat sebuah sekolah setiap orang Islam-sebagai anak didiknya- tahu aturan sekolah. Semua orang, bahkan anak kecil pun, tahu lonceng masuk sekolah berbunyi pada saat kita masuk waktu Subuh. Dan semua orang tahu bahwa waktu sekolah akan usai saat matahari mulai tenggelam. Di dalam masa “sekolah” semua orang tahu peraturan “sekolahan”, seperti larangan makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa. Inilah salah satu sekolah gratis yang didirikan Allah untuk mendidik moral dan spritual manusia. SEKOLAH RAMADHAN”.
Dari tinjauan medis-praktis, berdasarkan beberapa penelitian, puasa juga seringkali dijadikan theraphy untuk penyembuhan dan pencegahan penyakit tertentu. Said Salwa memberi penjelasan dalam bukunya Al-Islam bahwa Kebiasaan banyak makan akan menimbulkan beberapa penyakit seperti: rematik, liver, tekanan darah tinggi, dan kencing manis. Oleh karena itu, dengan berpuasa penyakit-penyakit itu bisa dicegah atau diminimalisir. Disamping itu, puasa juga sering dilakukan oleh para pasien yang akan melakukan operasi besar. Sebenarnya, manfaat-manfaat ibadah dari segi medis ini juga banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadith.
Ritual puasa sebagai anugerah ini tidak hanya dirasakan oleh manusia tapi juga makhluk tuhan lainnya. Lihat saja, hewan piaraan kita yang bernama ayam. Mereka berpuasa ketika mereka mengerami telurnya. Hal serupa juga dilakukan oleh ulat yang berpuasa ketika bermetamorfosis menjadi kepompong.
Puasa selain juga mempunyai hikmah yang luar biasa, seringkali puasa menjadi arena untuk memproduksi kejahatan. Hal yang semacam ini terjadi dalam budaya samanisme, yang menjadikan puasa sebagai persyaratan untuk mendapatkan kekebalan atau ilmu magis (black magic).[9] Termasuk yang tidak sesuai dengan ajaran agama adalah puasa wishal atau dalam bahasa jawa dikenal dengan istilah pati geni-yang biasanya sering dijadikan syarat untuk mendapat kesaktian. Puasa wishal –puasa secara terus menerus setiap hari tanpa berbuka- ini tidak dianjurkan dalam Islam karena bersifat melawan nature dan seringkali menyengsarakan tubuh kita.
Dalam dimensi psiko-sosial, puasa dapat melatih kepekaan mata hati kita terhadap realitas-sosial yang timpang. Rasa lapar yang dirasakan oleh kita selama berpuasa merupakan media agar kita mempunyai empati terhadap saudara kita yang kehidupan sehari-harinya berteman dengan rasa lapar yang berkepanjangan. Disamping itu, pesan sosial puasa juga dipertegas oleh Allah dengan mewajibkan setiap individu untuk mengeluarkan zakat fitrah pada setiap akhir puasa ramadhan.
Dengan kata lain, pesan intrinsik sosial puasa dan zakat, bahwa kita harus mempunyai kepedulian terhadap kaum dhu’afa (orang yang miskin secara kultural) dan kaum mustad’afin (kaum yang di-miskinkan oleh struktur; birokrasi, penguasa, orang kaya dan ulama). Kalau dengan puasa, rasa empati kita tetap tumpul, kemauan untuk berbagi tidak tampak, maka hati nurani kita sudah tergantikan oleh hati dzulmani. Dengan demikian, melihat realitas sebagian masyarakat yang hidup dengan kelebihan harta, sementara yang lain mesra dengan kemiskinannya. Maka sebenarnya, masyarakat Islam Indonesia tidak miskin harta tapi miskin hati nurani.
Jika saja kita hanya aktif dalam membentuk kesalehan formal (formal piety) dengan melakukan shalat, zakat, puasa, haji. Tapi disisi lain kita absen dalam membangun kesejahteraan dan kedamaian sosial. Maka, sebenarnya kita masih termasuk orang yang kafir (tertutup hatinya) dalam melihat sebuah kebenaran. Jadi, kita sering mengalami keperibadian yang mendua (split personality). Banyak orang berkali-kali pergi haji, tapi berkali-kali juga melakukan korupsi. Banyak orang yang puasanya sering dilunasi, tapi selalu mengingkari hati nurani, ada juga orang yang sangat fasih melantunkan ayat-ayat suci, tapi juga fasih dalam mencaci dan iri hati. Banyak juga orang yang tampak khusuk dalam shalatnya, namun “khusyuk” juga dalam membuat sakit hati.
Nah, jika saja kita-penganut Islam- mau jujur dan legowo mengatakan bahwa sebenarnya ajaran Islam itu sebuah ajaran yang antikesalehan formal. Sebagaimana Al-Qur’an mengutuk orang yang shalat tapi tidak perduli terhadap anak yatim dan orang miskin.[10] Pesan sosial Al-Qur’an melalui surat Al-Ma’un tersebut adalah orientasi ibadah kita harus seimbang (balance) antara orientasi ketuhanan dan kemanusiaan. Dan jika ibadah-ibadah yang kita lakukan masih belum menciptakan dan belum memproduksi kemaslahatan, kedamaian dan keadilan dalam kehidupan. Maka, sebenarnya kita belum termasuk orang yang beragama. Ini apabila melihat arti agama secara generik. “A” berarti tidak. “Gama” berarti kacau. Jadi orang yang beragama itu adalah orang yang kehidupannya berada dalam aturan-aturan tertentu.
Demikianlah uraian penulis tentang puasa. Semoga tulisan ini bermanfaat. penulis ingin menyampaikan jika tulisan ini mengandung kebenaran dan kebaikan maka “janganlah ditelan tanpa mengunyahnya”. Namun jika dalam tulisan ini tersirat sejuta kesalahan maka ruang dialog, diskusi dan pintu maaf selalu terhampar di bumi intelektual. Sekali lagi tulisan ini bukanlah sebuah justifikasi dari sebuah ke-pem-benaran apa lagi menghakimi sebuah ritual keper-ibadata-an, tulisan ini hanyalah sebagai bahan diskusi. Syukron Jazilan......!
REFERENCES
Iqbal, Muhammad, The Reconstruction Of Religius Thought In Islam , New Delhi: Kitab Bahavan, 1981.
Madjid, Nurcholis, 30 Sajian Ruhani Renungan Di Bulan Ramadhan, Bandung: Mizan, 2007.
------------,  Islam Doktrin Dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 2005.
Murtadha Muthahhari, Syekh Tosun Bayrak, Energi Ibadah Selami Makna, Raih Kematangan Batin, Jakarta: Serambi, 2007.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqh Para Mujtahid,  Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Rahmat, Jalaluddin, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.


§ Disampaikan dalam Dialog Ramadhan dan buka bersama dengan tema : Puasa Dalam Perspektif Fiqh Dan Medis.
© Siful Arifin, santri “kalong” alumni P.P. Darussalam Al-Faisholliyah. Seorang Maha Santri yang sedang berproses menjadi muslim.
[1] Ibadah disini berarti segala aktivitas manusia yang diniatkan sebagai pengabdian dan penghambaan diri kepada tuhan. Atau dalam pengertian yang lebih khusus ibadah menunjuk kepada amal perbuatan tertentu yang secara khas bersifat keagamaan.  Lihat Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2005), 57-58. Lihat juga, Murtadha Muthahhari, Syekh Tosun Bayrak, Energi Ibadah Selami Makna, Raih Kematangan Batin (Jakarta: Serambi, 2007), 15-16
[2] Lihat. Qs. Al-Baqarah: 62.
[3] Ilustrasi ini penulis sarikan dari pengalaman pribadi ketika berbaur dengan umat Islam di pojok-pojok kampung desa ini. Dari fenomena inilah penulis beranggapan bahwa perlu adanya diskusi  keagamaan secara intens untuk melakukan “penyadaran ke-beragamaan. Agar posisi tuhan tidak semakin terkikis-kalau tidak mau dikatakan tergantikan- dalam  praktek-praktek ritual keber-agamaan kita.
[4] Dosa yang dimaksud penulis disini adalah sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Atau perbuatan yang dalam jangka pendek membawa kesenangan, tapi membawa kesengsaraan di masa depan.
[5] Menurut beberapa mufassir salaf, buah yang dimaksud adalah “buah kekekalan” yang dalam bahasa Al-qur’an disebut “syajarah khuld” –jika buah ini dimakan maka akan mengingkari hakikat kemanusiaan Adam. Kalau saja penafsiran ini benar. maka penulis mempunyai anggapan sederhana bahwa masih ada sejuta misteri yang terkandung dalam buah kekekelan tersebut. Atau dalam pemikiran yang lebih genit. Kenapa buah itu dilarang untuk dimakan.? Jangan-jangan tuhan takut tersaingi oleh manusia jika saja buah itu dimakan. Sssssssst....tahan dulu! Don’t be angry! Itu hanya penafsiran. Tidak makan buah khuldi saja manusia sudah ngotot banget  kok untuk menyaingi tuhan. Dan mencoba untuk menjadi tuhan-tuhan kecil. Ehmmmmmm..... tapi jangan khawatir tuhan tidak akan pernah bisa tersaingi. Tidak akan.......!
[6] Nurcholis Madjid, 30 Sajian Ruhani Renungan Di Bulan Ramadhan  (Bandung: Mizan, 2007), 47
[7] Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religius Thought In Islam (New Delhi: Kitab Bahavan, 1981), 81
[8]Lihat  Qs. Al-baqarah. 35-39
[9] Nurcholis Madjid, 30 Sajian Ruhani Renungan........,237.
[10] Lihat, qs. Al-Ma’un: 1-4

RE-POSISI DAN RE-ORIENTASI IDENTITAS DAN GERAKAN MAHASISWA
Oleh: Siful Arifin
Gerakan mahasiswa masakini telah mengalami malaise. Suatu keadaan hilangnya semangat dan tenaga untuk bergerak. Pada era sebelum 2000-an term mahasiswa menjadi buah bibir dalam setiap pergantian kepemimpinan di negeri ini. Mahasiswa telah dinilai berhasil menjadi punggawa terdepan dalam merobohkan hegemoni tangan besi negara. Maka tak pelak lagi, dalam perjalanan panjang sejarahnya mahasiswa mendapat gelar kehormatan sebagai agen of change, agent of social control dan juga iron stock. Heroisme para aktivis 98 menjadi referensi aktivis gerakan, bahkan inspirasi dan imajinasi bagi para aktivis. Namun kenyataannya, Gerakan mahasiswa hanya mitos penenang, mahasiswa selalu terbuai dengan pujian heroisme, padahal sebenarnya mereka dijadikan pemadam kebakaran oleh para elit politik.
Mahasiswa sebagai reprensentasi kaum intelektual dan penguasa sebagai pemegang status quo membuat nada indah untuk membangun dan menghancurkan negara sekaligus. Mahasiswa dan para penguasa sebenarnya-secara samar-samar- telah membuat klausal pembagian jabatan alias kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari sekian banyak mahasiswa yang ikut berdemo ria dengan militer pada tahun ’66 untuk menjatuhkan soekarno yang pada akhirnya masuk dalam lingkar setan kekuasaan. Begitu juga pada era ‘98 ketika mahasiswa berhasil meruntuhkan dominasi orde baru dibawah pimpinan soeharto. Mahasiswa berbondong-bondong untuk melacurkan dirinya menjadi budak-budak sang pandito ratu (penguasa baru). Bahkan, tidak jarang juga mahasiswa rela berlindung di bawah ketiak kekuasaanya. Begitu naifkah posisi kita sebagai mahasiswa....?
Fenomena perselingkuhan mahasiswa (kaum intelektual) dengan penguasa ini nampaknya sudah dibaca dengan cermat oleh Michael Foucault salah satu filosof post-modern Perancis yang dalam salah satu tesisnya mengatakan bahwa ada hubungan yang sangat intim antara kekuasaan dan pengetahuan. Lebih lanjut, penulis ingin membahasakan tesis Foucault tersebut bahwa pengetahuan cenderung menghasilkan kekuasaan dan kekuasaan cenderung memproduksi pengetahuan.
Idealisme mahasiswa yang selama beberapa tahun dipupuk di dunia kampus ternyata cepat memudar ketika mahasiswa berhasil mencicipi kursi empuk istana maupun kursi panas parlement. Tidak sedikit mahasiswa yang menjadi penghianat intelektual dan menjadi teman karib para penguasa. Kini para aktivis mahasiswa tersebut berdiaspora, ada yang telah menjadi komisaris, aktivis parpol, kepala daerah, bahkan ada yang bergabung (satu parpol) dengan orang-orang yang pernah menculiknya. Anehnya, cita-cita luhur yang diidam-idamkan ketika menjadi mahasiswa dulu tercerabut dengan cepat ketika mahasiswa mendapatkan pelanggan dan panggilan keraton. Dan yang lebih parah lagi mereka dengan leluasa menyingkirkan dan melupakan teman, sahabat, dan masyarakat yang dulu bersatu padu untuk melawan penindasan. Walaupun demikian, tidak semua aktivitas mahasiswa terjebak dalam pragmatisme total. Masih ada Sebagian kecil aktivis gerakan yang kemudian mengambil peran kecil dengan konsisten pada perjuangan massa.
Sedangkan gerakan dan suara lantang mahasiswa masa kini sedang mengalami stagnasi total. Mahasiswa seakan-akan telah kehilangan musuh bersama yang bergelar “diktator”. Padahal sebenarnya para diktator-diktator itu telah bermetamorfosis menjadi raja-raja kecil yang mempunyai wilayah kekuasaannya tersendiri. Para lurah, Camat, Bupati, Wali Kota, Gubernur dan para birokrat lainnya telah dengan leluasa memeras susu kekayaaan wilayahnya sendiri. Mereka para birokrat ini membodohi dan menipu rakyat bahkan tak jarang menjajah rakyatnya sendiri dengan segala kebijakannya yang sebenarnya pro terhadap status quo dan kapitalisme. Komunikasi yang terbangun diantara meraka hanya tahu sama tahu dan sepakat mengunci rapat kebobrokan institusi mereka masing-masing. Merekalah sebenarnya musuh baru mahasiswa. Namun sayangnya, mahasiswa sekarang bernyali ciut dan kerdil menghadapi kenyataan ini. Jika demikian yang terjadi, masih pantaskah kita sebagai mahasiswa menyemat label agent of change, agent of social control ataupun iron stock.?
Pada masa sekarang ini, Term mahasiswa telah kehilangan kekuatan magicnya. Kini, menjadi mahasiswa bukan lagi sebuah kebanggaan. Mahasiswa seringkali menjadi sampah masyarakat yang sering diejek dan digunjingkan karena kebanyakan mereka setelah lulus dari kuliahnya menjadi pengangguran aktif. Menjadi mahasiswa saat ini sering kali diliputi oleh tanda tanya dan kebingungan yang berkepanjangan. Mulai ketika ingin masuk kampus. Kita dibingungkan dengan pilihan kampus dan jurusan. Ketika sudah menjadi mahasiswapun kita juga berada dalam kebingungan karena kita kehilangan arah dan tujuan, sedangkan setelah luluspun kebingungan itu semakin meninggi karena kampus dan universitaspun tak cukup memberi bekal dan skill untuk menghadapi masadepan.
Melihat kenyataan gerakan mahasiswa yang tercerai berai dan terkooptasi dalam gerakan-gerakan oraganisasi tertentu seperti; PMII, HMI, GMNI, IMM dll. maka tidak mungkin lagi mahasiswa menjadi magnet perubahan di negeri ini. Karena sejauh penagamatan penulis gerakan organisasi-organisasi kemahasiswaaan hari ini sering kali menjadi under-ground dari golongan, kelompok dan seniornya. Gerakan mahasiswa hari ini harus senantiasa melepaskan diri dari kepentingan golongan dan ideologinya dan bersatu padu ketika membicarakan kepentingan bangsa dan negara. Jika tidak, maka bangsa ini akan kehilangan penyangganya. Dan lambat laun bangsa ini akan bubar.
Dalam pandangan penulis, gerakan mahasiswa hari ini harus berlandaskan dan mengambil format gerakan massa dan gerakan intelektual (intellectual movement).
Dalam suatu perspektif, gerakan intelektual (intellectual movement) akan terbangun di atas Trias Tradition (tiga tradisi), yakni: tradisi diskusi, tradisi menulis, tradisi membaca.
Pertama, terbangun diatas tradisi diskusi (Discussion Tradition). Gerakan mahasiswa harus memperbanyak ruang diskusi pra-pasca pergerakan. Diskusi akan membawa gerakan mahasiswa menjadi sebuah gerakan rasional dan terpercaya ciri khas gerakan mahasiswa. Lantaran itu, elemen masyarakat secara umum akan lebih menghargai isu-isu diusung oleh gerakan mahasiswa. Seperti dalam menurunkan demonstrasi, elemen gerakan mahaiswa harus mengkaji lebih detail apa, mengapa, akibat dan latar belakang kebijakan pemerintah harus ditentang.
Kedua, terbangun diatas tradisi menulis (Writing Tradition). Aktivitas menulis merupakan salah satu gerbang menuju tradisi intelektual bagi gerakan mahasiswa. Karena, mewacanakan isu-isu melalui media cetak dapat dibaca oleh kalangan lebih luas dalam artian lebih efefktif untuk menyebarkan gagasan atau wacana ke seluruh pelosok persada nusantara, bahkan sampai manca negara. Hal ini bersinergi dengan peran mahasiswa Indonesia, meminjam istilah Michael Fremerey (1976) "Gerakan korektif", selain diorasikan melalui mimbar bebas dalam aksi demonstrasi juga dapat diwujudkan bagi tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa dalam bentuk tulisan di Media Massa.
Ketiga, terbangun diatas tradisi membaca (Reading Tradition). Aktualisasi isu sangat penting bagi gerakan mahasiswa dalam bergerak. Begitu cepat pergeseran berita dan opini publik, memaksa kita untuk senantiasa membaca kalau tidak akan tertinggal.
Demikianlah refleksi dan renungan singkat penulis dalam memotret identitas dan laju gerakan mahasiswa masa kini. Semoga kita senantiasa menyadari eksistensi dan fungsi kita sebagai mahasiswa. Pesan terakhir penulis untuk menutup tulisan ini jangan biasakan memahat rasa apriori-apatis dalam melihat realitas sosial. Terimakasih selamat berjuang....!

“Aku Bukan Pembawa Berita, Tapi Aku Kabar Buruk Buat Penguasa”
(Wiji Tukul)

SI PAUL'S LIBRARY

Foto saya
Sampang, Jawa timur, Indonesia
Seorang manusia yang akan terus belajar di kampus kehidupan tanpa batas waktu kecuali tuhan sudah merindukan

Categories

Laman

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Recent Posts

Popular Posts

Arsip