Jumat, 09 September 2011

RE-POSISI DAN RE-ORIENTASI IDENTITAS DAN GERAKAN MAHASISWA
Oleh: Siful Arifin
Gerakan mahasiswa masakini telah mengalami malaise. Suatu keadaan hilangnya semangat dan tenaga untuk bergerak. Pada era sebelum 2000-an term mahasiswa menjadi buah bibir dalam setiap pergantian kepemimpinan di negeri ini. Mahasiswa telah dinilai berhasil menjadi punggawa terdepan dalam merobohkan hegemoni tangan besi negara. Maka tak pelak lagi, dalam perjalanan panjang sejarahnya mahasiswa mendapat gelar kehormatan sebagai agen of change, agent of social control dan juga iron stock. Heroisme para aktivis 98 menjadi referensi aktivis gerakan, bahkan inspirasi dan imajinasi bagi para aktivis. Namun kenyataannya, Gerakan mahasiswa hanya mitos penenang, mahasiswa selalu terbuai dengan pujian heroisme, padahal sebenarnya mereka dijadikan pemadam kebakaran oleh para elit politik.
Mahasiswa sebagai reprensentasi kaum intelektual dan penguasa sebagai pemegang status quo membuat nada indah untuk membangun dan menghancurkan negara sekaligus. Mahasiswa dan para penguasa sebenarnya-secara samar-samar- telah membuat klausal pembagian jabatan alias kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari sekian banyak mahasiswa yang ikut berdemo ria dengan militer pada tahun ’66 untuk menjatuhkan soekarno yang pada akhirnya masuk dalam lingkar setan kekuasaan. Begitu juga pada era ‘98 ketika mahasiswa berhasil meruntuhkan dominasi orde baru dibawah pimpinan soeharto. Mahasiswa berbondong-bondong untuk melacurkan dirinya menjadi budak-budak sang pandito ratu (penguasa baru). Bahkan, tidak jarang juga mahasiswa rela berlindung di bawah ketiak kekuasaanya. Begitu naifkah posisi kita sebagai mahasiswa....?
Fenomena perselingkuhan mahasiswa (kaum intelektual) dengan penguasa ini nampaknya sudah dibaca dengan cermat oleh Michael Foucault salah satu filosof post-modern Perancis yang dalam salah satu tesisnya mengatakan bahwa ada hubungan yang sangat intim antara kekuasaan dan pengetahuan. Lebih lanjut, penulis ingin membahasakan tesis Foucault tersebut bahwa pengetahuan cenderung menghasilkan kekuasaan dan kekuasaan cenderung memproduksi pengetahuan.
Idealisme mahasiswa yang selama beberapa tahun dipupuk di dunia kampus ternyata cepat memudar ketika mahasiswa berhasil mencicipi kursi empuk istana maupun kursi panas parlement. Tidak sedikit mahasiswa yang menjadi penghianat intelektual dan menjadi teman karib para penguasa. Kini para aktivis mahasiswa tersebut berdiaspora, ada yang telah menjadi komisaris, aktivis parpol, kepala daerah, bahkan ada yang bergabung (satu parpol) dengan orang-orang yang pernah menculiknya. Anehnya, cita-cita luhur yang diidam-idamkan ketika menjadi mahasiswa dulu tercerabut dengan cepat ketika mahasiswa mendapatkan pelanggan dan panggilan keraton. Dan yang lebih parah lagi mereka dengan leluasa menyingkirkan dan melupakan teman, sahabat, dan masyarakat yang dulu bersatu padu untuk melawan penindasan. Walaupun demikian, tidak semua aktivitas mahasiswa terjebak dalam pragmatisme total. Masih ada Sebagian kecil aktivis gerakan yang kemudian mengambil peran kecil dengan konsisten pada perjuangan massa.
Sedangkan gerakan dan suara lantang mahasiswa masa kini sedang mengalami stagnasi total. Mahasiswa seakan-akan telah kehilangan musuh bersama yang bergelar “diktator”. Padahal sebenarnya para diktator-diktator itu telah bermetamorfosis menjadi raja-raja kecil yang mempunyai wilayah kekuasaannya tersendiri. Para lurah, Camat, Bupati, Wali Kota, Gubernur dan para birokrat lainnya telah dengan leluasa memeras susu kekayaaan wilayahnya sendiri. Mereka para birokrat ini membodohi dan menipu rakyat bahkan tak jarang menjajah rakyatnya sendiri dengan segala kebijakannya yang sebenarnya pro terhadap status quo dan kapitalisme. Komunikasi yang terbangun diantara meraka hanya tahu sama tahu dan sepakat mengunci rapat kebobrokan institusi mereka masing-masing. Merekalah sebenarnya musuh baru mahasiswa. Namun sayangnya, mahasiswa sekarang bernyali ciut dan kerdil menghadapi kenyataan ini. Jika demikian yang terjadi, masih pantaskah kita sebagai mahasiswa menyemat label agent of change, agent of social control ataupun iron stock.?
Pada masa sekarang ini, Term mahasiswa telah kehilangan kekuatan magicnya. Kini, menjadi mahasiswa bukan lagi sebuah kebanggaan. Mahasiswa seringkali menjadi sampah masyarakat yang sering diejek dan digunjingkan karena kebanyakan mereka setelah lulus dari kuliahnya menjadi pengangguran aktif. Menjadi mahasiswa saat ini sering kali diliputi oleh tanda tanya dan kebingungan yang berkepanjangan. Mulai ketika ingin masuk kampus. Kita dibingungkan dengan pilihan kampus dan jurusan. Ketika sudah menjadi mahasiswapun kita juga berada dalam kebingungan karena kita kehilangan arah dan tujuan, sedangkan setelah luluspun kebingungan itu semakin meninggi karena kampus dan universitaspun tak cukup memberi bekal dan skill untuk menghadapi masadepan.
Melihat kenyataan gerakan mahasiswa yang tercerai berai dan terkooptasi dalam gerakan-gerakan oraganisasi tertentu seperti; PMII, HMI, GMNI, IMM dll. maka tidak mungkin lagi mahasiswa menjadi magnet perubahan di negeri ini. Karena sejauh penagamatan penulis gerakan organisasi-organisasi kemahasiswaaan hari ini sering kali menjadi under-ground dari golongan, kelompok dan seniornya. Gerakan mahasiswa hari ini harus senantiasa melepaskan diri dari kepentingan golongan dan ideologinya dan bersatu padu ketika membicarakan kepentingan bangsa dan negara. Jika tidak, maka bangsa ini akan kehilangan penyangganya. Dan lambat laun bangsa ini akan bubar.
Dalam pandangan penulis, gerakan mahasiswa hari ini harus berlandaskan dan mengambil format gerakan massa dan gerakan intelektual (intellectual movement).
Dalam suatu perspektif, gerakan intelektual (intellectual movement) akan terbangun di atas Trias Tradition (tiga tradisi), yakni: tradisi diskusi, tradisi menulis, tradisi membaca.
Pertama, terbangun diatas tradisi diskusi (Discussion Tradition). Gerakan mahasiswa harus memperbanyak ruang diskusi pra-pasca pergerakan. Diskusi akan membawa gerakan mahasiswa menjadi sebuah gerakan rasional dan terpercaya ciri khas gerakan mahasiswa. Lantaran itu, elemen masyarakat secara umum akan lebih menghargai isu-isu diusung oleh gerakan mahasiswa. Seperti dalam menurunkan demonstrasi, elemen gerakan mahaiswa harus mengkaji lebih detail apa, mengapa, akibat dan latar belakang kebijakan pemerintah harus ditentang.
Kedua, terbangun diatas tradisi menulis (Writing Tradition). Aktivitas menulis merupakan salah satu gerbang menuju tradisi intelektual bagi gerakan mahasiswa. Karena, mewacanakan isu-isu melalui media cetak dapat dibaca oleh kalangan lebih luas dalam artian lebih efefktif untuk menyebarkan gagasan atau wacana ke seluruh pelosok persada nusantara, bahkan sampai manca negara. Hal ini bersinergi dengan peran mahasiswa Indonesia, meminjam istilah Michael Fremerey (1976) "Gerakan korektif", selain diorasikan melalui mimbar bebas dalam aksi demonstrasi juga dapat diwujudkan bagi tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa dalam bentuk tulisan di Media Massa.
Ketiga, terbangun diatas tradisi membaca (Reading Tradition). Aktualisasi isu sangat penting bagi gerakan mahasiswa dalam bergerak. Begitu cepat pergeseran berita dan opini publik, memaksa kita untuk senantiasa membaca kalau tidak akan tertinggal.
Demikianlah refleksi dan renungan singkat penulis dalam memotret identitas dan laju gerakan mahasiswa masa kini. Semoga kita senantiasa menyadari eksistensi dan fungsi kita sebagai mahasiswa. Pesan terakhir penulis untuk menutup tulisan ini jangan biasakan memahat rasa apriori-apatis dalam melihat realitas sosial. Terimakasih selamat berjuang....!

“Aku Bukan Pembawa Berita, Tapi Aku Kabar Buruk Buat Penguasa”
(Wiji Tukul)

0 komentar:

Posting Komentar

SI PAUL'S LIBRARY

Foto saya
Sampang, Jawa timur, Indonesia
Seorang manusia yang akan terus belajar di kampus kehidupan tanpa batas waktu kecuali tuhan sudah merindukan

Categories

Laman

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Recent Posts

Popular Posts

Arsip