Kamis, 22 Agustus 2013



FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM*
(Kajian Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Serta Alirannya)
Oleh: Siful Arifin**
A.    PENDAHULUAN
Dewasa ini-kalau tidak mau dikatakan dari dulu-dunia pendidikan mengalami paradoks. Disadari atau tidak, diterima atau tidak  dunia pendidikan telah atau sedang mengalami pergeseran paradigma (shift pradigm). Pendidikan kita sudah off the track dan dihantui oleh ideologi-ideologi yang kurang berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. sehingga pendidikan mengalami dis-orientasi yang berkepanjangan.
Pendidikan- tidak terkecuali pendidikan Islam yang semestinya menjunjung tinggi martabat, dan harkat kemanusiaan (humanisasi). Pendidikan  kini berwajah menakutkan karena senantiasa memproduk manusia-manusia yang serakah, kejam, korup, tumpul mata hatinya dan anti kemanusiaan atau meminjam istilahnya Paulo Freire praktek-praktek pendidikan telah melakukan de-humanisasi[1]. Hal ini tidak terlepas karena pendidikan kita lebih mengutamakan kecerdasan intelektual dan mengabaikan kecerdasan spritual.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan agama telah ditetapkan sebagai satuan kurikulum atau materi pelajaran yang harus dilaksanakan dalam detiap jenjang pendidikan. Namun kenyataannya lembaga pendidikan kita belum sepenuhnya membentuk peserta didik dalam kedudukannya sebagai makhluk Tuhan  yaitu sebagai khalifah dan hamba-NYA. Proses pendidikan hanya sebagai transfer knowledge yang bisa diserap oleh peserta didik dengan baik tapi belum mampu diaktualisasikan secara maksimal.
Fenomena paradoks yang terjadi dalam dunia pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas hanya bagian kecil dari setumpuk masalah yang melanda pendidikan saat ini. Problem mendasar yang perlu kita diskusikan adalah pembentukan term  pendidikan itu sendiri-tidak terkecuali pendidikan Islam- yang menjadi pembahasan dalam makalah ini. Karena dalam pandangan penulis pendidikan Islam telah kehilangan nilai-nilai filosofinya. Toh,  kalaupun masih ada, itu telah direduksi oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai dasar Islam itu sendiri. Sehingga pendidikan Islam menjadi hampa dan miskin kemaslahatan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini  penulis akan meninjau kembali prinsip-prinsip filosofis pendidikan Islam yakni, ontologi, epistemologi, dan aksiologi pendidikan Islam yang selama ini -katanya- menjadi dasar konstruksi sistem pendidikan Islam. Masih relevankah bangunun filosofis pendidikan Islam yang sudah ada itu atau kita perlu untuk me-re-formulasinya lagi. Dengan mengetahui prinsip-prinsip pendidikan Islam ini maka diharapkan kita mampu berpikir secara kritis dan radikal sehingga membidani rancang bangun sistem pendidikan Islam yang relevan dengan dinamika zaman dan tetap berdiri pada nilai-nilai fundamen Islam.
B.     Mengurai Definisi Pendidikan Islam
Sebelum membahas ontologi, epistemologi, dan aksiologi pendidikan Islam secara lebih detail. Maka, kita akan melihat dulu pengertian pendidikan secara umum dan definisi pendidikan Islam itu sendiri.
Berbicara masalah pendidikan merupakan suatu kajian yang cukup menarik, Definisi pendidikan secara umum banyak dikemukakan oleh para tokoh pendidikan. Mereka berbeda-beda dalam mendefinisikan makna dan arti pendidikan karena melihat pendidikan dari perspektif dan kacamata yang berbeda. Perlu diketehui bahwa banyak sekali istilah-istilah dalam pendidikan itu sendiri, seperti pengajaran, pembelajaran, paedagogi, pendidikan, pelatihan, dan lain sebagainya. Semua itu dapat kita jumpai dalam buku-buku yang mengkaji tentang pendidikan.
Secara etimologi, istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan[2]. Sedangkan  pendidikan secara terminologis banyak dikemukakan oleh para ahli berikut beberapa pengertian pendidikan menurut beberapa tokoh. Menurut M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.[3] Dari pengertian tersebut Langeveld memahami pendidikan sebagai interaksi pendidik dan peserta didik.
Di sisi lain, Azyumardi Azra menyatakan bahwa pendidikan lebih dari pada sekedar pengajaran, yang dapat dikatakan sebagai suatu proses transfer ilmu (transfer knoweledge) belaka, bukan transformasi nilai (transfer of value) dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.[4] Jelas bahwa apa yang dinyatakan Azra, pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan tukang-tukang atau para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit, karena itu perhatian dan minatnya pun lebih bersifat teknis. Adapun istilah manapun yang akan diambil terserah kita akan berpijak kemana, karena penulis tidak membatasi makna pendidikan secara sebenarnya.
Sedangkan kaitannya dengan Islam, berikut penulis akan menguraikannya secara singkat. Gabungan kata pendidikan dan Islam dalam “Pendidikan Islam” menurut aturan gramatikal disebut phrase. Kata Islam secara etimologi berasal dari bahasa Arab aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian, keselamatan.[5]Kata Islam mempunyai dimensi, subtansi dan definisi yang sangat kompleks. Oleh karenanya, untuk mendapatkan pengertian pendidikan Islam yang baik, maka kita harus melihat dimensi Islam yang diturunkan kepada umat manusia dari sisi pedagogis.[6] Islam merupakan hadiah dari tuhan bagi umat manusia yang di dalamnya memuat tuntunan bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan (dimensi vertikal), dan bagaimana manusia berhubungan dengan manusia dan alam (dimensi horisontal) dalam hal ini Islam berfungsi sebagai pedoman dalam menempuh kehidupannnya. Dalam hal ini ajaran Islam mengandung dimensi teologis sekaligus sosiologis. oleh karena itu, disinilah pendidikan menjadi sangat penting bagi manusia untuk memahami Islam dengan baik dan benar. Karena tidak semua ajaran Islam yang berdimensi kelangitan bisa dipahami tanpa proses pendidikan. Dengan demikian, Islam sangat erat kaitannya dengan pendidikan. Hubungan antara keduanya bersifat organis-fungsional[7]. Tujuan-tujuan suci Islam akan termanifestasikan dan akan mudah ditransmisikan kepada penganutnya dengan mudah melalui media pendidikan, sedangkan Islam bisa menjadi kerangka dasar atau titik pijak dalam pengembangan pendidikan Islam.
Dalam konteks pendidikan Islam, ada tiga istilah umum yang sering digunakan dalam mencari term pendidikan (Islam), yaitu : al-tarbiyyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib.[8]  Masing-masing istilah ini mempunyai makna dan pengertian yang berbeda-beda walaupun mempunyai kesamaan maknadalam beberapa dimensinya. Secara subtansial-filosofis pun ketiga istilah ini mempunyai makna yang berbeda. Berikut beberapa penjelasan dari ketiga istilah tersebut.
Istilah al-tarbiyah berasal dari kata dasar “rabba”, yurabbi menjadi  tarbiyah” yang mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik.  Dalam statusnya sebagai khalifah berarti manusia hidup di alam mendapat kuasa dari Allah untuk mewakili dan sekaligus sebagai pelaksana dari peran dan fungsi Allah di alam. Dengan demikian manusia sebagai bagian dari alam memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang bersama alam lingkungannya. Tetapi sebagai khalifah Allah maka manusia mempunyai tugas untuk memadukan pertumbuhan dan perkembangannya bersama dengan alam.[9]
Sementara kata ta’lim mempunyai berkonotasi dengan istilah  pembelajaran[10], yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Hakekat ilmu pengetahuan bersumber dari Allah. Adapun proses pembelajaran (ta’lim) secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam as oleh Allah, ia menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari penciptanya.
Sementara kata al-ta’dib berarti pengenalan dan pengetahuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.
Sayid Muhammad al Naquib al Attas, lebih memilih istilah al-ta’dib dibandingkan istilah lainnya. Menurutnya kata al-ta’dib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mencakup juga pendidikan untuk hewan.[11] Al Attas menjelaskan bahwa ta’dib berasal dari masdar Addaba yang diturunkan menjadi kata Adabun, berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannyadengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.[12] Penjelasan ini berbau filsafat karena menurutnya pendidikan Islam berorientasi untuk mengantar peserta didik untuk mengenali tuhannya.
Berdasarkan tiga istilah tersebut maka pendidikan Islam sama dengan definisi pendidikan secara umum. Artinya, juga mempunyai definisi yang beragam. Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan kemampuan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal dan memetik hasilnya kelak di akhirat.[13]
Menurut M. Yusuf al Qardhawi adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karenanya pendidikan Islam berupaya menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[14]
Dari berbagai definisi yang ada tersebut, maka pendidikan Islam berarti  suatu proses pembentukan individu (peserta didik) kearah yang lebih baik berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT Kepada Muhammad SAW (al-Qur’an dan hadith).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan mempunyai arti yang beragam. Baik Ditinjau dari proses, fungsi, tujuan, ruang lingkup maupun aspek-aspek lainnya,
Mengkaji pendidikan Islam dari aspek filosofisnya (ontologi, epistemologi, aksiologi) berarti memposisikan pendidikan Islam sebagai ilmu. Setelah mengurai panjang lebar tentang pendidikan Islam secara definitif maka perlu kiranya kita membahas tentang pendidikan Islam sebagai ilmu.
Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Karena disebut ilmu maka rumusannya adalah teori, seperti ilmu komunikasi maka teorinya tentang bagaimana berkominikasi, ilmu ekonomi adalah teori tentang teori ekonomi, ilmu sosial maka akan membahas tentang teori sosial (kemasyarakatan) dan lain sebagainya. Sehingga ilmu pendidikan Islam adalah teori-teori tentang pendidikan berdasarkan Islam. Pada umumnya ilmu itu tidak hanya berupa teori tapi juga dilengkapi data-data dan penjelasan tentang teori tersebut.[15] Sehingga isi ilmu terdapat tiga hal, yaitu teori, penjelasan dan data. Jadi, jika kita menemukan buku ilmu pendidikan Islam, maka sudah sewajarnya berisi ketiga komponen tersebut.
Pemahaman tentang ilmu pendidikan Islam, menurut Ahmad Tafsir ilmu adalah sejenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan riset terhadap obyek-obyek yang empiris, benar tidaknya suatu teori ilmu ditentukan oleh logis tidaknya dan ada tidaknya bukti empiris. Bila teori itu logis dan ada bukti empiris, maka teori ilmu itu benar.[16] Oleh karena itu, dalam ilmu pendidikan Islam harus terdapat teori-teori yang dapat diuji secara logis dan sekaligus empiris. Apabila tidak bisa, maka bukan suatu ilmu pendidikan Islam, bahkan mungkin ilmu pendidikan Islam adalah mistis (khayalan). Tafsir dalam bukunya menjelaskan definisi ilmu pendidikan Islam sebatas untuk membedakan antara ilmu pendidikan Islam dan filsafat pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam merupakan kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris.[17] Masih menurut Tafsir bahwa untuk memahami tentang ilmu pendidikan Islam dapat dilakukan dengan cara merumuskan lebih dahulu definisi ilmu, definisi pendidikan dan definisi Islam, setelah itu disusun rumusan tentang ilmu pendidikan Islam.[18]
C.    Ontologi Pendidikan Islam
Ontologi merupakan salah satu kajian penyelidikan pemikiran kefilsafatan yang paling kuno.[19] Objek Kajiannya adalah hakikat sesuatu yakni kenyataan yang sebenarnya, kenyataan yang sesungguhnya dari sesuatu, baik yang riil atau un-riil, bukanlah keadaan yang sementara atau keadaan yang menipu, bukan pula keadaan yang berubah dan bukan sesuatu yang fatamorgana. Dalam kajian ontologi hakikat sesuatu bisa didekati dengan dua cara, yaitu kualitatif: mempertanyakan jenis kenyataan sesuatu. Dan kuantitatif: mempertanyakan hakikat itu tunggal atau jamak.[20]
Dalam hal ini, ontologi pendidikan Islam berkaitan dengan apa sebenarnya hakikat pendidikan Islam itu. Baik yang bersifat realitas atau abstrak. Hakikat itu bisa ditinjau dari segala sisi pendidikan Islam dengan segala pola organisasi yang melingkupinya, meliputi hakikat pendidikan Islam dan ilmu pendidikan Islam, hakikat tujuan pendidikan Islam, hakikat manusia sebagai subjek pendidikan yang ditekankan kepada pendidik dan peserta didik, dan hakikat kurikulum pendidikan Islam dan lain sebagainya. Pendidikan sendiri pada umumnya selalu berada dalam hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia. Sedangkan kehidupan manusia ditentukan oleh asal-mula dan tujuannya. Oleh karena itu, ontologi pendidikan berarti pendidikan dalam hubungannya dengan asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia.[21]
Begitu juga pendidikan Islam  tidak hanya dipahami hanya sebatas “proses pengajaran” mentransfer pengetahuan, melainkan proses menanam nilai-nilai sikap dan tingkah laku (akhlaq), melatih dan memekarkan pengalaman, serta menumbuh-kembangkan kecakapan hidup (life skill) manusia. Dengan proses yang demikian, maka pendidikan Islam mampu mengantar manusia mengidentifikasi eksistensinya.
Pendidikan Islam merupakan proses pendewasaan dan sekaligus ‘memanusiakan’ jati diri manusia. Dikatakan ”memanusiakan,” karena manusia lahir hanya membawa bekal potensi. Melalui proses pendidikan, potensi manusia diharapkan dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sempurna, sehingga ia dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebagai manusia.
Pendidikan Islam tidak hanya berdimensi jasmani-rohani saja tapi juga menyangkut pemberdayaan kerja akal-budi untuk mengembangkan fitrah yang dibekalkan Allah kepada diri manusia. Potensi yang diberikan oleh Tuhan memang dapat dikatakan masih setengah jadi, sehingga butuh sentuhan dan rekayasa ilmiah melalui proses pendidikan Islam agar potensi tersebut tumbuh dan berkembang secara maksimal. Dalam Islam, mengenyam pendidikan dipandang sebagai kewajiban personal sepanjang hayat manusia (life long education).
Dari beberapa definisi dan penjelasan pendidikan dalam dimensi ontologi dalam makalah ini maka dapat dipahami bahwa hakikat pendidikan Islam adalah proses internalisasi nilai-nilai Islam melalui bimbingan dan pembelajaran (kegiatan) yang dilakukan oleh manusia (pendidik) kepada manusia lainnya (peserta didik) (subjek-objek) untuk menumbuhkan potensi dan fitrahnya (tujuan). Proses ini meliputi aspek jasmani dan rohani. Dengan demikian maka implikasi ontologisnya adalah membentuk manusia yang mempunyai kesadaran akan eksistensinya sebagai khalifah Allah dan sebagai hambanya.
D.    Epistemologi Pendidikan Islam
Epistemologi secara umum bisa diartikan sebagai  ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan[22]atau membahas tentang sumber pengetahuan. Istilah epistemologi menurut Hartono Hadi sering kali disebut sebagai filsafat pengetahuan.[23]atau teori tentang pengetahuan. Dari pengertian ini, maka berbicara tentang epistemologi, berarti berbicara tentang bagaimana cara menyusun ilmu pengetahuan yang benar. kemudian selanjutnya berdasarkan teori itulah metodologi dirumuskan, dan pada akhirnya berdasarkan metodologi itulah ilmu dipraktekkan.
Epistemologi pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan epistemologi ilmu pengetahuan pada umumnya yang mengkaji sumber, metode, objek dan cara mendapatkan pengetahuan. Pendidikan Islam juga mengkaji tentang objek pendidikan, metode serta sistem penyelenggaraan pendidikan serata kebenaran tentang kebenaran pendidikan Islam itu sendiri.[24] Kajian Epistemologi dalam kaitannya dengan Pendidikan Islam dalam bagian ini yang akan dibahas adalah sumber-sumber pendidikan Islam, obyek pendidikan Islam, dan metode dalam membaangun epistemologi pendidikan Islam pengetahuan.
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Sumber utama pelaksanaan Pendidikan Islam adalah al-Qur'an dan hadith. Mengingat landasan epistemologis pendidikan Islam ini adalah normativitasi yang terangkum dalam sebuah teks kitab suci al-Qur’an dan hadith, maka kajian epistemologi sangat penting dalam membangun paradigma pendidikan Islam karena mempunyai pengaruh terhadap aspek ontologi dan aksiologinya.
Selain al-Qur’an dan as-Sunnah, kata-kata sahabat (madhh}ab s}ahabat), kemaslahatan umat (mashalih al-mursalah), tradisi atau kebiasaan masyarakat (‘urf) dan ijtihad dan lain sebagainya. Sumber-sumber tersebut dapat  digunakan secara hierarkis, artinya rujukan pendidikan Islam berurutan diawali dari sumber utama yakni al-Qur’an dan dilanjutkan hingga sumber-sumber yang lain dengan tidak menyalahi atau bertentangan dengan sumber utama.
Secara historis, bangunan epistemologi ilmu-ilmu keIslaman klasik termasuk pendidikan Islam juga merupakan hasil konstruksi keilmuan masalalu dan kebanyakan umat Islam berbangga diri dengan terus melakukan romantisme masa lalu itu. Akibatnya, dunia keilmuan Islam mengalami stagnasi. Oleh karena itu banyak pemikir-pemikir Islam masa kini melakukan rekonstruksi terhadap  paradigma keilmuan Islam itu dari segi epistemologinya sebagai pangkal awal dalam melakukan perubahan dan dinamisasi keilmuan. Ada tiga term yang dikenal dalam epistemologi Islam yang secara subtansi berbeda dengan epistemologi keilmuan pada umumnya. Karena epistemologi Islam ini berkaitan dengan religiositas Islam dan menjadi ciri khas tersendiri. Ketiga term itu ialah bayany, ‘irfany dan burhany.[25] Term-term ini diperkenalkan oleh Abid Al-Jabiri.
Pada dasarnya, metode epistemologi pendidikan Islam berbeda dengan metode pendidikan Islam. Metode pendidikan Islam membahas metode-metode yang dipakai untuk menyampaikan materi pendidikan Islam, sedangkan metode epistemologi pendidikan dimaksudkan untuk membangun, menggali, dan mengembangkan pendidikan Islam.[26] Metode epistemologi pendidikan Islam ini digunakan untuk memperoleh pengetahuan pendidikan Islam.
Metode epistemologi pendidikan Islam diupayakan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadith. Untuk sementara menurut Mujammil Qomar ada lima macam metode yang diambil dari perenungan-perenungan dan penafsiran-penafsiran terhadap ayat al-Qur’an dan Hadith nabi. Yaitu: metode rasional (manhaj’aqli), metode intuitif (manhaj zawqi), metode dialogis (manhaj jadali), metode komparatif (manhaj muqarrani), dan metode kritik (manhaj naqdi).[27] Setiap metode ini mempunyai cara kerja dan mekanisme yang tidak sama dalam memperoleh pengetahuan tentang pendidikan.
Metode rasional merupakan metode yang menitikberatkan pada penggunaan rasio untuk mendapatkan sebuah bangunan ilmu sedangkan standarisasi kebenarannya memakai rasio juga. Sedangkan metode intuisi melandaskan konstruksi bangunan pengetahuannya pada kekuatan kalbu. Metode ini nampaknya menjadi sebuah metode yang dilematis dan menjadi pro-kontra dalam percaturan ilmuwan Barat yang lebih mengandalkan akal dalam mengukur kebenaran sebuah ilmu.
Selain metode diatas metode epistemologi pendidikan Islam juga dibangun dengan metode dialogis yaitu metode yang digunakan untuk menggali pengetahuan pendidikan Islam berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.[28] Metode komparatif adalah metode memeperoleh pengetahuan pendidikan Islam dengan cara membandingkan teori maupun praktek pendidikan, baik teori pendidikan Islam dengan teori pendidikan Islam sendiri atau dengan teori pendidikan lainnya. Yang terakhir adalah metode epistemologi kritik yang dimaksudkan sebagai usaha menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagi alternatif pemecahannya.[29]
Objek epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri sebagaimana dikutip oleh Mujammil Qomar berupa “Segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan”.[30] Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran atau objek teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi menghantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran mustahil tujuan bisa terealisasi, sebaliknya tanpa tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah.
Secara epistemologis, manusia menjadi objek formal dari pendidikan Islam dengan menitik beratkan pada aspek pembentukan kualitas kesadarannya sebagai makhluk tuhan, dan kesadaran sebagai bagian dari alam dan masyarakat lainnya. Dengan menumbuhkan kesadaran ini maka peserta didik diharapkan dapat memaksimalkan potensi dan kreativitas yang ada dalam dirinya.
Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia dalam hal ini peserta didik dibekali oleh sang khaliq dengan potensi kodrat yang sempurna, yaitu potensi cipta, rasa dan karsa. Potensi berharga inilah yang mengantarkan bahwa manusia adalah khalifah di dunia ini. Dengan dukungan potensi tersebut, manusia dididik agar memiliki orientasi yang tinggi untuk mendapatkan nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan yang terkandung pada realitas yang ada di alam semesta ini.
Berdasarkan uraian di atas maka secara spesifik bisa diartikan bahwa epistemologi pendidikan Islam berorientasi pada bagaimana proses membangun paradigma pendidikan Islam yang mengarah pada proses internalisasi nilai-nilai Islam sehingga mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan sebagai sebuah kebenaran yang hakiki dengan berlandaskan pada sumber yang dimilikinya.
E.     Aksiologi Pendidikan Islam
Aksiologi secara etimologis berasal dari kata axios (Yunani) yang berarti "nilai" dan logos yang berarti "teori". Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Dengan mengambil arti dari kedua kata ini maka aksiologi berarti "teori tentang nilai".[31] Jadi, aksiologi biasa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai.
Ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan ada beberapa cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistemologis, etika dan estetika. Epistemologi berkaitan dengan masalah benar dan salah (right and wrong), sedangkan etika bersangkutan dengan masalah baik dan buruk (good and bad), dan estetika mengakaji tentang masalah keindahan.[32]  Jujun S. Suriasumantri dalam salah satu bukunya mengartikakan: aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[33]
Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Dalam kaitannya dengan filsafat pendidikan Islam, banyak tokoh yang mencoba merumuskan tujuan mempelajarinya, diantaranya dipaparkan oleh  Omar Muhammad al Toumy al Syaibany sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata[34] ada tiga manfaat dalam mempelajari filsafat pendidikan Islam diantaranya: pertama filsafat pendidikan dapat menolong para perancang pendidikan untuk membentuk pemikiran yang sehat dalam pendidikan. Dengan memepelajari filsafat pendidikan Islam, maka pendidikan Islam tidak mentah dan dangkal baik meliputi sistem, kebijakan maupun arah proses pendidikan itu sendiri,
Kedua, filsafat pendidikan dapat menjadi standarisasi dalam melakukan penilaian terhadap aktivitas pendidikan. Penilaian yang dimaksud adalah segala usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah, institusi dan para pelaku pendidikan lainnya.
Ketiga, filsafat pendidikan Islam dapat memberikan pendalaman pikiran bagi faktor-faktor spritual, kebudayaan, sosial, ekonomi dan politik dinegara kita.
Dari beberapa tujuan yang ditulis di atas maka dapat dilihat bahwa fungsi dan tujuan filsafat pendidikan Islam itu sangat signifikan. Hal ini disebabkan karena yang menjadi garapannya adalah segi filosofi dari setiap problematika yang menjadi akar permasalahan pendidikan.
Namun demikian, menurut Ahmad Marimba sebagaimana masih dikutip oleh Abuddin Nata bahwa filsafat pendidikan dapat menjadi pelaksanaan pendidikan yang menghasilkan generasi-generasi baru yang berkeperibadian muslim.[35] Pendapat ini nampaknya lebih berorientasi pada pengembangan dan tujuan dari pendidikan Islam.
Dengan demikian, secara aksiologis obyek kajian dan proses yang dilakukan selalu diarahkan pada nilai-nilai yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan (moral), maupun nilai ketuhanan (agama). Prinsip aksiologi ini merupakan alat kontrol yang efektif dalam melihat kebermaknaan dan ketidakbermaknaan, atau ideal atau tidak idealnya konsep pendidikan yang ditawarkannya bagi umat manusia.[36]
F.     Aliran Filsafat Pendidikan Islam
Pendidikan sebagai elemen yang berpengaruh terhadap kualitas pendidikan mengharuskan beberapa tokoh untuk memikirkan bagaimana formulasi pendidikan itu sesungguhnya agar orientasinya benar-benar memberdayakan kapasitas dan eksistensi kemanusiaan manusia dan tidak menyimpang dari nilai-nilai keilahian.
Secara historis-filosofis dinamika pemikiran pendidikan Islam  mempunyai warna tersendiri. Pandangan berbeda-berbeda yang ditunjukkan oleh para tokoh-tokoh Islam klasik terhadap makna kehidupan dan pendidikan kemudian membentuk klasifikasi dan kategorisasi aliran-aliran teori pendidikan Islam yang pada selanjutnya juga mempengaruhi hasil pendidikan dalam memproduksi manusia (peserta didik). Berikut beberapa aliran teori pendidikan Islam mengikuti kategorisasi yang ditawarkan oleh Muhammad Jawwad Ridla yakni:
1.      Aliran agamis-konservatif (al-muhafidz}),
2.      Religius-rasional (al-diniy al-’aqlaniy),
3.      Pragmatis-instrumental (al-dhara’iy).[37]
Untuk lebih jelas berikut uraian dari ketiga aliran tersebut. Pertama, Aliran Konservatif (al-muhafidz}) aliran ini memandang segala sesuatu dari perspektif keagamaan. Dalam menbicarakan terntang ilmu dan pendidikan, aliran ini cenderung normatif dan bersifat murni keagamaan. Karena menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama maka semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu, etika guru dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran ini juga mempersempit ruang gerak ilmu karena mengatakan bahwa ilmu yang wajib dipelajari hanyalah ilmu yang berorientasi dan bermanfaat terhadap kehidupan akhirat.
Kelompok konservatif membagi ilmu menjadi dua kelompok yaitu, Pertama, ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu meliputi ilmu-ilmu tentang kewajiban agama (‘ulum al faraid} al diniyah). Kedua, ilmu yang hukumnya wajib kifayah untuk dipelajari, yakni ilmu pengetahuan yang dibutuhkan demi tegaknya urusan dunia, semisal ilmu kedokteran yang sangat krusial bagi pemiliharaan kesehatan badan. Ilmu jenis pertama bersifat primer, diibaratkan seperti  makanan pokok, sedangkan ilmu kedua seperti obat yan harus dimakan pada saat dibutuhkan saja. Selain kedua ilmu tersebut terdapat pula ilmu fad}ilah (keutamaan) antara  lain ilmu kedokteran, ilmu hitung dan sebagainya. Penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan al-Qur’an. Ia berusaha menghafalkannya dan mampu menafsirkannya kemudian dilanjutkan dengan belajar al-hadith, nahwu dan s}haraf.
Tokoh-tokoh klasik yang termasuk dalam aliran pendidikan Islam konservatif (al-muhafidz}) adalah al-Ghazali. Satu “gerbong” dengan al-Ghazali yaitu al-Thusi, Ibnu Sahnun, Ibn Jama’ah, Ibnu Hajar al-Haitami serta al-Qabisi.
Dalam konteks proses pembelajaran tokoh-tokoh aliran ini mempunyai cara dan metodenya tersendiri tapi secara umum mereka mempunyai keidentikan misalnya menggunakan metode mujahadah dan riyad}ah. Pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli, serta bimbingan dan nasihat. Sedangkan media/alat digunakan dalam pengajaran mereka menyetujui adanya pujian dan hukuman, di samping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang mulia.
Kedua, aliran relgius-rasional (al-diny al ‘aqlany), yakni model pemikiran yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama (nash) dengan mengunakan pendekatan rasional-filosofis. Aliran ini tidak jauh berbeda dengan aliran pertama dalam hal kaitan antara pendidikan dan tujuan belajar adalah tujuan agama. Kelompok yang bisa dimasukkan dalam aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa ia menyatakan bahwa semua ilmu dan sastra yang tidak berorientasi ke-akhirat-an, dan tidak memberikan makna sebagai bekal di sana, maka ilmu demikian hanya akan menjadi boomerang bagi si pemilik tadi kelak di akhirat. Dalam prakteknya, aliran ini dalam pandanganya terhadap pendidikan banyak menggunakan konsep-konsep filsafat dalam mengembangkan konsep, atau berusaha menyelaraskan pandangan filsafat dengan orientasi keagamaan. Mereka membangun prinsip-prinsip dasar pemikiran pendidikan dari pemikiran tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan.
Aliran ini lebih bersifat inklusif karena mereka menerima ilmu-ilmu non- keagamaan, atau ilmu yang berasal dari luar Islam. kemudian mereka memfilternya dan memformulasinya kembali dengan epistemologi Islam. Aliran ini juga memandang bahwa kebutuhan manusia bersifat dinamis dan kompleks sehingga untuk memenuhi kebutuhannya tersebut manusia harus bisa mengembangkan ilmu pengetahuan.
Aliran yang ketiga adalah aliran pragmatis (al-dhara’iyah) , yaitu aliran yang melihat pendidikan bersifat pragmatis dan lebih berorientasi aplikasi-praktis. menurut aliran ini ilmu diklasifikasikan berdasarkan tujuan, kegunaan dan fungsinya dalam hidup. Dalam konteks pendidikan Islam, aliran ini melihat dari sudut pandang nash, kemudian dijelaskan secara rasional dan dilihat dari tujuan fungsionalnya. Tokoh utama aliran ini adalah Ibnu Khaldun, menurut Jawwad Ridha, aliran ini merupakan wacana baru dalam pendidikan Islam. Apabila kalangan konservatif menpersempit ruang lingkup sekuler di hadapan rasionalitas Islam dan mengaitkanya secara kaku dengan pemikiran atau warisan salaf, sedangkan rasionalitas dalam program pendidikan berfikir idealistik sehingga memasukan disiplin keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan langsung manusia, baik merupakan kebutuhan spiritual rohaniah maupun kebutuhan materialnya.
Ibn Khaldun sebagai tokoh utama aliran ini sebagimana dikutip oleh Syamsul Nizar membagi ilmu menjadi dua;[38] yaitu: pertama, ilmu naqli (traditional science), penulis menyebutnya sebagai ilmu yang berdimensi intrinsik, semisal ilmu-ilmu syar’iyyat (keagamaan): Tafsir, Hadith, Fikih, Kalam, Teologi, Tasawuf dan Ushul-Fiqh. Kedua, ilmu aqli (rational science) penulis lebih cenderung menyebutnya sebagai ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu-ilmu jenis pertama, semisal sastra, Ilmu hitung, fisika, kedokteran pertanian, metafisika, musik, astronomi dan lain sebagainya.
Pembagian ilmu yang diklasifikasikan oleh Ibn Khaldun ini menunjukan bahwa ia membagi ilmu pengetahuan berdasar tujuan fungsionalnya, bukan hanya berdasar nilai substansialnya semata.
Dari uraian ketiga aliran di atas, secara historis-sosiologis implementasi teori pendidikan menurut Jawwad ini menemukan bentuknya dalam pendidikan Islam yang ada di Indonesia. Yaitu aliran konservatif, aliran ini banyak  dipraktekkan di pondok-pondok pesantren tradisional (salaf). Pandangan kaum konservatif ini nampaknya yang mendasari adanya dikotomi pendidikan agama dan pendidikan umum di Indonesia. Dalam konteks proses pembelajaran santri hanya dijadikan objek dan harus tunduk dan patuh kepada kiainya. Aliran kedua, aliran religius-rasional implementasinya pada pondok pesantren modern,  perguruan tinggi  Islam,  karena  di pondok-pondok  pesantren  modern  dan  perguruan tinggi tersebut kurikulumnya memuat semua disiplin ilmu yang dianggap penting dan perlu untuk dipelajari. Sedangkan aliran Pragmatis, juga umumnya di pondok  pesantren. Di pondok-pondok tertentu ada yang khusus mempersiapkan santrinya mempunyai skill dan bekal kemandirian dengan menjadi pengusaha, berdagang dan bahkan ada juga yang secara khusus mempersipkan santrinya menjadi da’i, mu’allim, yang siap diterjunkan ke masyarakat.
Dalam ruang realitas, para tokoh-tokoh Islam klasik seperti apa yang telah ditulis oleh Ridla boleh membagi aliran pemikiran pendidikan kedalam tiga aliran, namun secara konsep pendidikan Islam tidak mengenal aliran-aliran seperti itu. Pandangan tersebut memperkuat pandangan kolonial yang bertujuan memisahkan pendidikan agama dari pendidikan umum. Pada hakikatnya Islam tidak membedakan atau membuat dikotomi antara pendidikan (ilmu) Islam dengan pendidikan (ilmu) umum.
G.    Penutup
Ada tiga kerangka umum filsafat pendidikan Islam yakni: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga term ini sangat penting dalam membentuk paradigma pendidikan Islam. Secara sederhana, ontologi pendidikan Islam menekankan pada proses pembentukan dan pemberdayaan kemanusiaan. Sedangkan epistemologi beorientasi pada bagaimana membangun paradigma pendidikan Islam yang tetap sesuai dengan al-Qur’an dan hadith. Dengan berlandaskan kerangka filsafat pendidikan Islam ini maka diharapkan potensi intelektual dan spritual manusia itu tumbuh dengan baik sehingga tercipta manusia super yang mempunyai kecerdasan spritual sekaligus emosional-spritual.
Ada tiga aliran filsafat pendidikan Islam yang dikonstruksi dari pandangan para tokoh tentang pandangan mereka terhadap ruang lingkup pengetahuan pendidikan Islam itu sendiri. Yaitu aliran koservatif-agamis-tekstualis, aliran religius-rasional dan aliran pragmatis. Ketiga aliran ini mempunyai karakteristik yang berbeda baik dari metode, fungsi, tujuan.




DAFAR PUSTAKA
Attas, al Naquib Syed Muhammad,  Konsep Pendidikan Dalam Islam, terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Freire, Paulo, Politik Pendidikan Kebudayaan Ekuasaan Dan Pembebasan,Ter. Agung Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007
Hadi, Hardono, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta : Kanisus, 1994
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Jogyakarta: Arruz Media, 2007
Kattsoff O, Louis, Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: al Ma’arif, 1980
Nasution, Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1985
Nata, Abuddin, filsafat pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005
Priatna, Tedi, Reaktuaisasli Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2007
Qardhawi, Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, Terj. Bustami A, Gani et.al, Jakarta: Bulan Bintang, 1980
Ramayulis, Nizar, Syamsul, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan Dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2010
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002
Suwarno, Wiji, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jogyakarta: Arruz Media, 2006
Salam, Burhanuddin, Logika materiil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Reineka cipta, 1997
Suriasumantri S, Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Yunus, H. A, Filsafat Pendidikan, Bandung:CV. Citra Sarana Grafika. 1999
Nizar, Syamsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam,  Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995


* Makalah ini, diseminarkan sebagai tugas Mata Kuliah: Filsafat Pendidikan Islam, Program Magister (S2) IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dosen Pengampu Prof.Dr.Abd. Haris, M.Ag.
** Mahasiswa pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, angkatan 2010
[1] Paulo, Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan Ekuasaan Dan Pembebasan,Ter. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), 191
[2]Ramayulis, Syamsul, Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan Dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), 83
[3] H. A. Yunus, Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV. Citra Sarana Grafika, 1999), 7-9
[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 3
[5] Abuddin, Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo,1999),61
[6] Tedi,, Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 1
[7] Ibid.,
[8] Ramayulis, Syamsul, Nizar, Filsafat Pendidikan Islam., 84
[9] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara. 1995), 121
[10] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 2.
[11] Syed Muhammad al Naquib al Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984), 52.
[12] Ibid, 63.
[13] Hasan, Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: al Ma’arif, 1980), 6.
[14] Yusuf al Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, terj. Bustami A, Gani et.al, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 157.
[15] Ahmad, Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 12.
[16] Ibid, 14
[17] Ibid, 15.
[18] Ibid, 23.
[19] Louis O, Kattsoff, Pengantar Filsafat, Terj.Soejono Soemargono  (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2004), 185
[20] Ibid., 186
[21] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), 97
[22] Harun Nasution, Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), 7
[23] Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta : Kanisus, 1994) ,5
[24] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, 118.
[25] Metode bayani, yaitu suatu metode yang bertumpu pada teks, metode burhani yaitu suatu metode yang mengedepankan penalaran analitis-kritis dan metode ’irfani, yaitu metode yang banyak  mendasarkan pada intuisi.
[26] Mujammil, Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2007), 272
[27] Ibid.,271
[28] Ibid., 328
[29] Ibid., 350
[30]Ibid.,8
[31] Burhanuddin, Salam, Logika materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Reineka cipta, 1997), 168
[32] Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat., 327.
[33] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer  (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998),  234
[34] Abuddin, Nata, filsafat pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 17
[35] Ibid.,19
[36] Syamsul Nizar, , Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan., 34
[37] Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, terj. Mahmud Arif (Yogyakartat: Tiara Wacana, 2002) , 89.
[38] Syamsul , Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan.,22

0 komentar:

Posting Komentar

SI PAUL'S LIBRARY

Foto saya
Sampang, Jawa timur, Indonesia
Seorang manusia yang akan terus belajar di kampus kehidupan tanpa batas waktu kecuali tuhan sudah merindukan

Categories

Laman

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Recent Posts

Popular Posts

Arsip