FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM*
(Kajian Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Serta Alirannya)
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini-kalau tidak mau dikatakan dari dulu-dunia pendidikan mengalami
paradoks. Disadari atau tidak, diterima atau tidak dunia pendidikan telah atau sedang mengalami
pergeseran paradigma (shift pradigm). Pendidikan kita sudah off the
track dan dihantui oleh ideologi-ideologi yang kurang berpihak pada
nilai-nilai kemanusiaan. sehingga pendidikan mengalami
dis-orientasi yang berkepanjangan.
Pendidikan- tidak terkecuali pendidikan Islam yang semestinya menjunjung
tinggi martabat, dan harkat kemanusiaan (humanisasi). Pendidikan kini berwajah menakutkan karena senantiasa
memproduk manusia-manusia yang serakah, kejam, korup, tumpul mata hatinya dan
anti kemanusiaan atau meminjam istilahnya Paulo Freire praktek-praktek
pendidikan telah melakukan de-humanisasi[1].
Hal ini tidak terlepas karena pendidikan kita lebih mengutamakan kecerdasan
intelektual dan mengabaikan kecerdasan spritual.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan agama telah ditetapkan sebagai satuan
kurikulum atau materi pelajaran yang harus dilaksanakan dalam detiap jenjang
pendidikan. Namun kenyataannya lembaga pendidikan kita belum sepenuhnya
membentuk peserta didik dalam kedudukannya sebagai makhluk Tuhan yaitu sebagai khalifah dan hamba-NYA. Proses
pendidikan hanya sebagai transfer knowledge yang bisa diserap oleh
peserta didik dengan baik tapi belum mampu diaktualisasikan secara maksimal.
Fenomena paradoks yang terjadi dalam dunia pendidikan sebagaimana dijelaskan
di atas hanya bagian kecil dari setumpuk masalah yang melanda pendidikan saat
ini. Problem mendasar yang perlu kita diskusikan adalah pembentukan term pendidikan itu sendiri-tidak terkecuali
pendidikan Islam- yang menjadi pembahasan dalam makalah ini. Karena dalam
pandangan penulis pendidikan Islam telah kehilangan nilai-nilai filosofinya. Toh, kalaupun masih ada, itu telah direduksi oleh
nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai dasar Islam itu sendiri. Sehingga
pendidikan Islam menjadi hampa dan miskin kemaslahatan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan meninjau kembali prinsip-prinsip
filosofis pendidikan Islam yakni, ontologi, epistemologi, dan aksiologi
pendidikan Islam yang selama ini -katanya- menjadi dasar konstruksi sistem
pendidikan Islam. Masih relevankah bangunun filosofis pendidikan Islam yang
sudah ada itu atau kita perlu untuk me-re-formulasinya lagi. Dengan mengetahui
prinsip-prinsip pendidikan Islam ini maka diharapkan kita mampu berpikir secara
kritis dan radikal sehingga membidani rancang bangun sistem pendidikan Islam
yang relevan dengan dinamika zaman dan tetap berdiri pada nilai-nilai fundamen Islam.
B. Mengurai Definisi
Pendidikan Islam
Sebelum membahas ontologi, epistemologi, dan aksiologi pendidikan Islam
secara lebih detail. Maka, kita akan melihat dulu pengertian pendidikan secara
umum dan definisi pendidikan Islam itu sendiri.
Berbicara masalah pendidikan merupakan suatu kajian yang cukup menarik, Definisi
pendidikan secara umum banyak dikemukakan oleh para tokoh pendidikan. Mereka
berbeda-beda dalam mendefinisikan makna dan arti pendidikan karena melihat
pendidikan dari perspektif dan kacamata yang berbeda. Perlu diketehui
bahwa banyak sekali istilah-istilah dalam pendidikan itu sendiri, seperti
pengajaran, pembelajaran, paedagogi, pendidikan, pelatihan, dan lain
sebagainya. Semua itu dapat kita jumpai dalam buku-buku yang mengkaji tentang
pendidikan.
Secara etimologi, istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie”
yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti
pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering
diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan[2]. Sedangkan
pendidikan secara terminologis banyak
dikemukakan oleh para ahli berikut beberapa pengertian pendidikan menurut
beberapa tokoh. Menurut M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang
terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu
keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.[3]
Dari pengertian tersebut Langeveld memahami pendidikan sebagai interaksi
pendidik dan peserta didik.
Di sisi lain, Azyumardi Azra menyatakan bahwa pendidikan lebih dari pada
sekedar pengajaran, yang dapat dikatakan sebagai suatu proses transfer ilmu (transfer
knoweledge) belaka, bukan transformasi nilai (transfer of value) dan
pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.[4] Jelas
bahwa apa yang dinyatakan Azra, pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan
tukang-tukang atau para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasinya
yang sempit, karena itu perhatian dan minatnya pun lebih bersifat teknis.
Adapun istilah manapun yang akan diambil terserah kita akan berpijak kemana,
karena penulis tidak membatasi makna pendidikan secara sebenarnya.
Sedangkan kaitannya dengan Islam, berikut penulis akan menguraikannya
secara singkat. Gabungan kata pendidikan dan Islam dalam “Pendidikan Islam” menurut
aturan gramatikal disebut phrase. Kata Islam secara etimologi berasal dari
bahasa Arab aslama yang berarti berserah
diri masuk dalam kedamaian, keselamatan.[5]Kata
Islam mempunyai dimensi, subtansi dan definisi yang sangat kompleks. Oleh
karenanya, untuk mendapatkan pengertian pendidikan Islam yang baik, maka kita harus
melihat dimensi Islam yang diturunkan kepada umat manusia dari sisi pedagogis.[6] Islam
merupakan hadiah dari tuhan bagi umat manusia yang di dalamnya memuat tuntunan
bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan (dimensi vertikal), dan bagaimana
manusia berhubungan dengan manusia dan alam (dimensi horisontal) dalam hal ini Islam
berfungsi sebagai pedoman dalam menempuh kehidupannnya. Dalam hal ini ajaran Islam
mengandung dimensi teologis sekaligus sosiologis. oleh karena itu, disinilah
pendidikan menjadi sangat penting bagi manusia untuk memahami Islam dengan baik
dan benar. Karena tidak semua ajaran Islam yang berdimensi kelangitan bisa
dipahami tanpa proses pendidikan. Dengan demikian, Islam sangat erat kaitannya
dengan pendidikan. Hubungan antara keduanya bersifat organis-fungsional[7].
Tujuan-tujuan suci Islam akan termanifestasikan dan akan mudah ditransmisikan kepada
penganutnya dengan mudah melalui media pendidikan, sedangkan Islam bisa menjadi
kerangka dasar atau titik pijak dalam pengembangan pendidikan Islam.
Dalam konteks pendidikan Islam, ada tiga istilah umum yang sering digunakan
dalam mencari term pendidikan (Islam), yaitu : al-tarbiyyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib.[8] Masing-masing istilah ini mempunyai makna dan
pengertian yang berbeda-beda walaupun mempunyai kesamaan maknadalam beberapa
dimensinya. Secara subtansial-filosofis pun ketiga istilah ini mempunyai makna
yang berbeda. Berikut beberapa penjelasan dari ketiga istilah tersebut.
Istilah al-tarbiyah berasal dari
kata dasar “rabba”, yurabbi menjadi “tarbiyah” yang mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik. Dalam statusnya sebagai khalifah berarti
manusia hidup di alam mendapat kuasa dari Allah untuk mewakili dan sekaligus
sebagai pelaksana dari peran dan fungsi Allah di alam. Dengan demikian manusia sebagai bagian dari alam memiliki
potensi untuk tumbuh dan berkembang bersama alam lingkungannya. Tetapi sebagai
khalifah Allah maka manusia mempunyai tugas untuk memadukan pertumbuhan dan
perkembangannya bersama dengan alam.[9]
Sementara kata ta’lim mempunyai berkonotasi
dengan istilah pembelajaran[10],
yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Hakekat ilmu pengetahuan bersumber
dari Allah. Adapun proses pembelajaran (ta’lim) secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan
Adam as oleh Allah, ia menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan
langsung dari penciptanya.
Sementara kata al-ta’dib berarti
pengenalan dan pengetahuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri
manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di
dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini pendidikan akan berfungsi
sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat
dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.
Sayid Muhammad al Naquib al Attas, lebih memilih istilah al-ta’dib dibandingkan istilah lainnya. Menurutnya kata al-ta’dib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian
pendidikan, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam
istilah ini mencakup juga pendidikan untuk hewan.[11] Al Attas
menjelaskan bahwa ta’dib berasal dari
masdar Addaba yang
diturunkan menjadi kata Adabun, berarti pengenalan dan pengakuan tentang
hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai
dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat
seseorang yang tepat dalam hubungannyadengan hakikat itu serta dengan kapasitas
dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.[12]
Penjelasan ini berbau filsafat karena menurutnya pendidikan Islam berorientasi
untuk mengantar peserta didik untuk mengenali tuhannya.
Berdasarkan tiga istilah tersebut maka pendidikan Islam sama dengan
definisi pendidikan secara umum. Artinya, juga mempunyai definisi yang beragam.
Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan
generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan kemampuan pengetahuan dan
nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal dan
memetik hasilnya kelak di akhirat.[13]
Menurut M. Yusuf al Qardhawi adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan
hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karenanya pendidikan
Islam berupaya menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun
perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan
dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[14]
Dari berbagai definisi yang ada tersebut, maka pendidikan Islam berarti suatu proses pembentukan individu (peserta didik)
kearah yang lebih baik berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah
SWT Kepada Muhammad SAW (al-Qur’an dan hadith).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan mempunyai
arti yang beragam. Baik Ditinjau dari proses, fungsi, tujuan, ruang lingkup
maupun aspek-aspek lainnya,
Mengkaji pendidikan Islam dari aspek filosofisnya (ontologi, epistemologi, aksiologi)
berarti memposisikan pendidikan Islam sebagai ilmu. Setelah mengurai panjang
lebar tentang pendidikan Islam secara definitif maka perlu kiranya kita
membahas tentang pendidikan Islam sebagai ilmu.
Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Karena
disebut ilmu maka rumusannya adalah teori, seperti ilmu komunikasi maka teorinya
tentang bagaimana berkominikasi, ilmu ekonomi adalah teori tentang teori
ekonomi, ilmu sosial maka akan membahas tentang teori sosial (kemasyarakatan)
dan lain sebagainya. Sehingga ilmu pendidikan Islam adalah teori-teori tentang
pendidikan berdasarkan Islam. Pada umumnya ilmu itu tidak hanya berupa teori
tapi juga dilengkapi data-data dan penjelasan tentang teori tersebut.[15]
Sehingga isi ilmu terdapat tiga hal, yaitu teori, penjelasan dan data. Jadi,
jika kita menemukan buku ilmu pendidikan Islam, maka sudah sewajarnya berisi
ketiga komponen tersebut.
Pemahaman tentang ilmu pendidikan Islam, menurut Ahmad Tafsir ilmu adalah
sejenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan riset terhadap obyek-obyek
yang empiris, benar tidaknya suatu teori ilmu ditentukan oleh logis tidaknya
dan ada tidaknya bukti empiris. Bila teori itu logis dan ada bukti empiris,
maka teori ilmu itu benar.[16]
Oleh karena itu, dalam ilmu pendidikan Islam harus terdapat teori-teori yang
dapat diuji secara logis dan sekaligus empiris. Apabila tidak bisa, maka bukan
suatu ilmu pendidikan Islam, bahkan mungkin ilmu pendidikan Islam adalah mistis
(khayalan). Tafsir dalam bukunya menjelaskan definisi ilmu pendidikan Islam
sebatas untuk membedakan antara ilmu pendidikan Islam dan filsafat pendidikan Islam.
Filsafat pendidikan Islam merupakan kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya
dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara
empiris.[17]
Masih menurut Tafsir bahwa untuk memahami tentang ilmu pendidikan Islam dapat
dilakukan dengan cara merumuskan lebih dahulu definisi ilmu, definisi
pendidikan dan definisi Islam, setelah itu disusun rumusan tentang ilmu
pendidikan Islam.[18]
C. Ontologi Pendidikan Islam
Ontologi merupakan salah satu kajian penyelidikan pemikiran kefilsafatan
yang paling kuno.[19] Objek
Kajiannya adalah hakikat sesuatu yakni kenyataan yang sebenarnya, kenyataan
yang sesungguhnya dari sesuatu, baik yang riil atau un-riil, bukanlah
keadaan yang sementara atau keadaan yang menipu, bukan pula keadaan yang
berubah dan bukan sesuatu yang fatamorgana. Dalam kajian ontologi
hakikat sesuatu bisa didekati dengan dua cara, yaitu kualitatif: mempertanyakan
jenis kenyataan sesuatu. Dan kuantitatif: mempertanyakan hakikat itu tunggal
atau jamak.[20]
Dalam hal ini, ontologi pendidikan Islam berkaitan dengan apa sebenarnya
hakikat pendidikan Islam itu. Baik yang bersifat realitas atau abstrak. Hakikat
itu bisa ditinjau dari segala sisi pendidikan Islam dengan segala pola
organisasi yang melingkupinya, meliputi hakikat pendidikan Islam dan ilmu
pendidikan Islam, hakikat tujuan pendidikan Islam, hakikat manusia sebagai
subjek pendidikan yang ditekankan kepada pendidik dan peserta didik, dan
hakikat kurikulum pendidikan Islam dan lain sebagainya. Pendidikan sendiri pada
umumnya selalu berada dalam hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia.
Sedangkan kehidupan manusia ditentukan oleh asal-mula dan tujuannya. Oleh
karena itu, ontologi pendidikan berarti pendidikan dalam hubungannya dengan
asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia.[21]
Begitu juga pendidikan Islam tidak
hanya dipahami hanya sebatas “proses pengajaran” mentransfer pengetahuan,
melainkan proses menanam nilai-nilai sikap dan tingkah laku (akhlaq), melatih
dan memekarkan pengalaman, serta menumbuh-kembangkan kecakapan hidup (life
skill) manusia. Dengan proses yang demikian, maka pendidikan Islam mampu mengantar
manusia mengidentifikasi eksistensinya.
Pendidikan Islam merupakan proses pendewasaan dan sekaligus ‘memanusiakan’
jati diri manusia. Dikatakan ”memanusiakan,” karena manusia lahir hanya membawa
bekal potensi. Melalui proses pendidikan, potensi manusia diharapkan dapat
tumbuh dan berkembang secara wajar dan sempurna, sehingga ia dapat melaksanakan
tugas dan tanggungjawab sebagai manusia.
Pendidikan Islam tidak hanya berdimensi jasmani-rohani saja tapi juga
menyangkut pemberdayaan kerja akal-budi untuk mengembangkan fitrah yang
dibekalkan Allah kepada diri manusia. Potensi yang diberikan oleh Tuhan memang
dapat dikatakan masih setengah jadi, sehingga butuh sentuhan dan rekayasa
ilmiah melalui proses pendidikan Islam agar potensi tersebut tumbuh dan
berkembang secara maksimal. Dalam Islam, mengenyam pendidikan dipandang sebagai
kewajiban personal sepanjang hayat manusia (life long education).
Dari beberapa definisi dan penjelasan pendidikan dalam dimensi ontologi
dalam makalah ini maka dapat dipahami bahwa hakikat pendidikan Islam adalah
proses internalisasi nilai-nilai Islam melalui bimbingan dan pembelajaran
(kegiatan) yang dilakukan oleh manusia (pendidik) kepada manusia lainnya
(peserta didik) (subjek-objek) untuk menumbuhkan potensi dan fitrahnya (tujuan).
Proses ini meliputi aspek jasmani dan rohani. Dengan demikian maka implikasi ontologisnya
adalah membentuk manusia yang mempunyai kesadaran akan eksistensinya sebagai
khalifah Allah dan sebagai hambanya.
D. Epistemologi Pendidikan Islam
Epistemologi secara umum bisa diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan
dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan[22]atau
membahas tentang sumber pengetahuan. Istilah epistemologi menurut Hartono Hadi
sering kali disebut sebagai filsafat pengetahuan.[23]atau
teori tentang pengetahuan. Dari pengertian ini, maka berbicara tentang
epistemologi, berarti berbicara tentang bagaimana cara menyusun ilmu
pengetahuan yang benar. kemudian selanjutnya berdasarkan teori itulah
metodologi dirumuskan, dan pada akhirnya berdasarkan metodologi itulah ilmu
dipraktekkan.
Epistemologi pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan epistemologi ilmu
pengetahuan pada umumnya yang mengkaji sumber, metode, objek dan cara mendapatkan pengetahuan. Pendidikan Islam juga mengkaji
tentang objek pendidikan, metode serta sistem penyelenggaraan pendidikan serata
kebenaran tentang kebenaran pendidikan Islam itu sendiri.[24] Kajian
Epistemologi dalam kaitannya dengan Pendidikan Islam dalam bagian ini yang akan
dibahas adalah sumber-sumber pendidikan Islam, obyek pendidikan Islam, dan
metode dalam membaangun epistemologi pendidikan Islam pengetahuan.
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan,
sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika
memiliki landasan yang kokoh. Sumber utama pelaksanaan Pendidikan Islam adalah al-Qur'an
dan hadith. Mengingat
landasan epistemologis pendidikan Islam ini adalah normativitasi yang terangkum
dalam sebuah teks kitab suci al-Qur’an dan hadith, maka kajian epistemologi sangat penting dalam membangun paradigma
pendidikan Islam karena mempunyai pengaruh terhadap aspek ontologi dan
aksiologinya.
Selain al-Qur’an
dan as-Sunnah, kata-kata sahabat (madhh}ab s}ahabat), kemaslahatan umat (mashalih
al-mursalah), tradisi atau kebiasaan
masyarakat (‘urf) dan ijtihad
dan lain sebagainya. Sumber-sumber tersebut dapat digunakan secara hierarkis, artinya rujukan
pendidikan Islam berurutan diawali dari sumber utama yakni al-Qur’an dan
dilanjutkan hingga sumber-sumber yang lain dengan tidak menyalahi atau bertentangan
dengan sumber utama.
Secara historis, bangunan epistemologi ilmu-ilmu keIslaman klasik termasuk
pendidikan Islam juga merupakan hasil konstruksi keilmuan masalalu dan
kebanyakan umat Islam berbangga diri dengan terus melakukan romantisme masa lalu
itu. Akibatnya, dunia keilmuan Islam mengalami stagnasi. Oleh karena itu banyak
pemikir-pemikir Islam masa kini melakukan rekonstruksi terhadap paradigma keilmuan Islam itu dari segi
epistemologinya sebagai pangkal awal dalam melakukan perubahan dan dinamisasi
keilmuan. Ada tiga term yang dikenal dalam epistemologi Islam yang secara
subtansi berbeda dengan epistemologi keilmuan pada umumnya. Karena epistemologi
Islam ini berkaitan dengan religiositas Islam dan menjadi ciri khas tersendiri.
Ketiga term itu ialah bayany, ‘irfany dan burhany.[25] Term-term ini diperkenalkan
oleh Abid Al-Jabiri.
Pada dasarnya, metode epistemologi pendidikan Islam berbeda dengan metode
pendidikan Islam. Metode pendidikan Islam membahas metode-metode yang dipakai
untuk menyampaikan materi pendidikan Islam, sedangkan metode epistemologi
pendidikan dimaksudkan untuk membangun, menggali, dan mengembangkan pendidikan Islam.[26]
Metode epistemologi pendidikan Islam ini digunakan untuk memperoleh pengetahuan
pendidikan Islam.
Metode epistemologi pendidikan Islam diupayakan agar tidak menyimpang dari
ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadith. Untuk sementara menurut
Mujammil Qomar ada lima macam metode yang diambil dari perenungan-perenungan
dan penafsiran-penafsiran terhadap ayat al-Qur’an dan Hadith nabi. Yaitu:
metode rasional (manhaj’aqli), metode
intuitif (manhaj zawqi), metode dialogis (manhaj jadali), metode komparatif (manhaj muqarrani), dan metode kritik (manhaj naqdi).[27]
Setiap metode ini mempunyai cara kerja dan mekanisme yang tidak sama dalam
memperoleh pengetahuan tentang pendidikan.
Metode rasional merupakan metode yang menitikberatkan pada penggunaan rasio
untuk mendapatkan sebuah bangunan ilmu sedangkan standarisasi kebenarannya
memakai rasio juga. Sedangkan metode intuisi melandaskan konstruksi bangunan
pengetahuannya pada kekuatan kalbu. Metode ini nampaknya menjadi sebuah metode
yang dilematis dan menjadi pro-kontra dalam percaturan ilmuwan Barat yang lebih
mengandalkan akal dalam mengukur kebenaran sebuah ilmu.
Selain metode diatas metode epistemologi pendidikan Islam juga dibangun
dengan metode dialogis yaitu metode yang digunakan untuk menggali pengetahuan
pendidikan Islam berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan
secara ilmiah.[28]
Metode komparatif adalah metode memeperoleh pengetahuan pendidikan Islam dengan
cara membandingkan teori maupun praktek pendidikan, baik teori pendidikan Islam
dengan teori pendidikan Islam sendiri atau dengan teori pendidikan lainnya.
Yang terakhir adalah metode epistemologi kritik yang dimaksudkan sebagai usaha
menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dengan cara mengoreksi
kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan
solusi sebagi alternatif pemecahannya.[29]
Objek epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri sebagaimana dikutip oleh
Mujammil Qomar berupa “Segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk
memperoleh pengetahuan”.[30]
Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran atau objek
teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi menghantarkan tercapainya tujuan, sebab
sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan
tujuan. Tanpa suatu sasaran mustahil tujuan bisa terealisasi, sebaliknya tanpa
tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah.
Secara epistemologis, manusia menjadi objek formal dari pendidikan Islam dengan
menitik beratkan pada aspek pembentukan kualitas kesadarannya sebagai makhluk
tuhan, dan kesadaran sebagai bagian dari alam dan masyarakat lainnya. Dengan
menumbuhkan kesadaran ini maka peserta didik diharapkan dapat memaksimalkan
potensi dan kreativitas yang ada dalam dirinya.
Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia dalam hal ini peserta didik
dibekali oleh sang khaliq dengan potensi kodrat yang sempurna, yaitu potensi
cipta, rasa dan karsa. Potensi berharga inilah yang mengantarkan bahwa manusia
adalah khalifah di dunia ini. Dengan dukungan potensi tersebut, manusia dididik
agar memiliki orientasi yang tinggi untuk mendapatkan nilai-nilai kebenaran,
keindahan dan kebaikan yang terkandung pada realitas yang ada di alam semesta
ini.
Berdasarkan uraian di atas maka secara spesifik bisa diartikan bahwa epistemologi
pendidikan Islam berorientasi pada bagaimana proses membangun paradigma pendidikan
Islam yang mengarah pada proses internalisasi nilai-nilai Islam sehingga mencapai
tujuan pendidikan yang diinginkan sebagai sebuah kebenaran yang hakiki dengan
berlandaskan pada sumber yang dimilikinya.
E. Aksiologi Pendidikan Islam
Aksiologi secara etimologis berasal dari kata axios (Yunani) yang
berarti "nilai" dan logos yang berarti "teori". Secara
historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau
moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos
(teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Dengan mengambil arti dari
kedua kata ini maka aksiologi berarti "teori tentang nilai".[31] Jadi, aksiologi biasa
disebut sebagai the theory of value atau teori nilai.
Ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan ada beberapa cabang
pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistemologis,
etika dan estetika. Epistemologi berkaitan
dengan masalah benar dan salah (right and wrong), sedangkan etika
bersangkutan dengan masalah baik dan buruk (good and bad), dan estetika mengakaji
tentang masalah keindahan.[32] Jujun S. Suriasumantri dalam salah satu bukunya mengartikakan: aksiologi
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh.[33]
Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku
etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang
baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang
moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau
“sepatutnya” (ought/should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis
tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan
atau menemukan suatu teori nilai.
Dalam kaitannya dengan filsafat pendidikan Islam, banyak tokoh yang mencoba
merumuskan tujuan mempelajarinya, diantaranya dipaparkan oleh Omar Muhammad al Toumy al Syaibany sebagaimana
dikutip oleh Abuddin Nata[34]
ada tiga manfaat dalam mempelajari filsafat pendidikan Islam diantaranya:
pertama filsafat pendidikan dapat menolong para perancang pendidikan untuk
membentuk pemikiran yang sehat dalam pendidikan. Dengan memepelajari filsafat
pendidikan Islam, maka pendidikan Islam tidak mentah dan dangkal baik meliputi
sistem, kebijakan maupun arah proses pendidikan itu sendiri,
Kedua, filsafat pendidikan dapat menjadi standarisasi dalam melakukan
penilaian terhadap aktivitas pendidikan. Penilaian yang dimaksud adalah segala
usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah, institusi dan para pelaku
pendidikan lainnya.
Ketiga, filsafat pendidikan Islam dapat memberikan pendalaman pikiran bagi
faktor-faktor spritual, kebudayaan, sosial, ekonomi dan politik dinegara kita.
Dari beberapa tujuan yang ditulis di atas maka dapat dilihat bahwa fungsi
dan tujuan filsafat pendidikan Islam itu sangat signifikan. Hal ini disebabkan
karena yang menjadi garapannya adalah segi filosofi dari setiap problematika
yang menjadi akar permasalahan pendidikan.
Namun demikian, menurut Ahmad Marimba sebagaimana masih dikutip oleh
Abuddin Nata bahwa filsafat pendidikan dapat menjadi pelaksanaan pendidikan
yang menghasilkan generasi-generasi baru yang berkeperibadian muslim.[35]
Pendapat ini nampaknya lebih berorientasi pada pengembangan dan tujuan dari
pendidikan Islam.
Dengan demikian, secara aksiologis obyek kajian dan proses yang dilakukan selalu
diarahkan pada nilai-nilai yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan (moral),
maupun nilai ketuhanan (agama). Prinsip aksiologi ini merupakan alat kontrol
yang efektif dalam melihat kebermaknaan dan ketidakbermaknaan, atau ideal atau
tidak idealnya konsep pendidikan yang ditawarkannya bagi umat manusia.[36]
F. Aliran Filsafat
Pendidikan Islam
Pendidikan sebagai elemen yang berpengaruh terhadap kualitas pendidikan mengharuskan
beberapa tokoh untuk memikirkan bagaimana formulasi pendidikan itu sesungguhnya
agar orientasinya benar-benar memberdayakan kapasitas dan eksistensi kemanusiaan
manusia dan tidak menyimpang dari nilai-nilai keilahian.
Secara historis-filosofis dinamika pemikiran pendidikan Islam mempunyai warna tersendiri. Pandangan
berbeda-berbeda yang ditunjukkan oleh para tokoh-tokoh Islam klasik terhadap makna
kehidupan dan pendidikan kemudian membentuk klasifikasi dan kategorisasi
aliran-aliran teori pendidikan Islam yang pada selanjutnya juga mempengaruhi
hasil pendidikan dalam memproduksi manusia (peserta didik). Berikut beberapa
aliran teori pendidikan Islam mengikuti kategorisasi yang ditawarkan oleh Muhammad
Jawwad Ridla yakni:
1. Aliran agamis-konservatif
(al-muhafidz}),
2. Religius-rasional (al-diniy al-’aqlaniy),
Untuk lebih jelas berikut uraian dari ketiga aliran tersebut. Pertama,
Aliran Konservatif (al-muhafidz}) aliran ini
memandang segala sesuatu dari perspektif keagamaan. Dalam
menbicarakan terntang ilmu dan pendidikan, aliran ini cenderung normatif dan
bersifat murni keagamaan. Karena menafsirkan realitas jagad raya berpangkal
dari ajaran agama maka semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu,
etika guru dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari
ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran ini juga
mempersempit ruang gerak ilmu karena mengatakan bahwa ilmu yang wajib
dipelajari hanyalah ilmu yang berorientasi dan bermanfaat terhadap kehidupan
akhirat.
Kelompok konservatif membagi ilmu menjadi dua kelompok yaitu, Pertama, ilmu
yang wajib dipelajari oleh setiap individu meliputi ilmu-ilmu tentang kewajiban
agama (‘ulum al faraid} al diniyah). Kedua, ilmu yang hukumnya wajib kifayah untuk dipelajari, yakni ilmu pengetahuan yang dibutuhkan demi tegaknya
urusan dunia, semisal ilmu kedokteran yang sangat krusial bagi pemiliharaan
kesehatan badan. Ilmu jenis pertama bersifat primer, diibaratkan seperti makanan pokok, sedangkan ilmu kedua seperti
obat yan harus dimakan pada saat dibutuhkan saja. Selain kedua ilmu tersebut
terdapat pula ilmu fad}ilah (keutamaan)
antara lain ilmu kedokteran, ilmu hitung
dan sebagainya. Penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan al-Qur’an. Ia
berusaha menghafalkannya dan mampu menafsirkannya kemudian dilanjutkan dengan
belajar al-hadith, nahwu dan s}haraf.
Tokoh-tokoh klasik yang termasuk dalam aliran pendidikan Islam konservatif
(al-muhafidz}) adalah al-Ghazali. Satu
“gerbong” dengan al-Ghazali yaitu al-Thusi, Ibnu Sahnun, Ibn Jama’ah, Ibnu
Hajar al-Haitami serta al-Qabisi.
Dalam konteks proses pembelajaran tokoh-tokoh aliran ini mempunyai cara dan
metodenya tersendiri tapi secara umum mereka mempunyai keidentikan misalnya
menggunakan metode mujahadah dan riyad}ah. Pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan
aqli, serta bimbingan dan nasihat. Sedangkan media/alat digunakan dalam
pengajaran mereka menyetujui adanya pujian dan hukuman, di samping keharusan
menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang mulia.
Kedua, aliran relgius-rasional
(al-diny al ‘aqlany), yakni model pemikiran yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang terkandung
dalam ajaran agama (nash) dengan mengunakan
pendekatan rasional-filosofis. Aliran ini tidak jauh berbeda dengan aliran
pertama dalam hal kaitan antara pendidikan dan tujuan belajar adalah tujuan
agama. Kelompok yang
bisa dimasukkan dalam aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa ia menyatakan bahwa semua ilmu
dan sastra yang tidak berorientasi ke-akhirat-an, dan tidak memberikan makna
sebagai bekal di sana, maka ilmu demikian hanya akan menjadi boomerang bagi si
pemilik tadi kelak di akhirat. Dalam prakteknya, aliran ini dalam pandanganya
terhadap pendidikan banyak menggunakan konsep-konsep filsafat dalam mengembangkan
konsep, atau berusaha menyelaraskan pandangan filsafat dengan orientasi
keagamaan. Mereka membangun prinsip-prinsip dasar pemikiran pendidikan dari pemikiran
tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan.
Aliran ini lebih bersifat inklusif karena mereka menerima ilmu-ilmu non-
keagamaan, atau ilmu yang berasal dari luar Islam. kemudian mereka memfilternya
dan memformulasinya kembali dengan epistemologi Islam. Aliran ini juga memandang
bahwa kebutuhan manusia bersifat dinamis dan kompleks sehingga untuk memenuhi
kebutuhannya tersebut manusia harus bisa mengembangkan ilmu pengetahuan.
Aliran yang ketiga adalah aliran pragmatis (al-dhara’iyah) , yaitu aliran yang melihat pendidikan bersifat pragmatis dan lebih
berorientasi aplikasi-praktis. menurut aliran ini ilmu diklasifikasikan
berdasarkan tujuan, kegunaan dan fungsinya dalam hidup. Dalam konteks
pendidikan Islam, aliran ini melihat dari sudut pandang nash, kemudian
dijelaskan secara rasional dan dilihat dari tujuan fungsionalnya. Tokoh utama
aliran ini adalah Ibnu Khaldun, menurut Jawwad Ridha, aliran ini merupakan
wacana baru dalam pendidikan Islam. Apabila kalangan konservatif menpersempit
ruang lingkup sekuler di hadapan rasionalitas Islam dan mengaitkanya secara
kaku dengan pemikiran atau warisan salaf, sedangkan rasionalitas dalam program pendidikan berfikir idealistik
sehingga memasukan disiplin keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan
langsung manusia, baik merupakan kebutuhan spiritual rohaniah maupun kebutuhan
materialnya.
Ibn Khaldun sebagai tokoh utama aliran ini sebagimana dikutip oleh Syamsul
Nizar membagi ilmu menjadi dua;[38]
yaitu: pertama, ilmu naqli (traditional science), penulis
menyebutnya sebagai ilmu yang berdimensi intrinsik, semisal ilmu-ilmu syar’iyyat
(keagamaan): Tafsir, Hadith, Fikih, Kalam, Teologi, Tasawuf dan Ushul-Fiqh. Kedua, ilmu aqli (rational science) penulis lebih cenderung
menyebutnya sebagai ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi
ilmu-ilmu jenis pertama, semisal sastra, Ilmu hitung, fisika, kedokteran
pertanian, metafisika, musik, astronomi dan lain sebagainya.
Pembagian ilmu yang diklasifikasikan oleh Ibn Khaldun ini menunjukan bahwa
ia membagi ilmu pengetahuan berdasar tujuan fungsionalnya, bukan hanya berdasar
nilai substansialnya semata.
Dari uraian ketiga aliran di atas, secara historis-sosiologis implementasi teori
pendidikan menurut Jawwad ini menemukan bentuknya dalam pendidikan Islam yang
ada di Indonesia. Yaitu aliran konservatif, aliran ini banyak dipraktekkan di pondok-pondok pesantren
tradisional (salaf). Pandangan
kaum konservatif ini nampaknya yang mendasari adanya dikotomi pendidikan agama
dan pendidikan umum di Indonesia. Dalam konteks proses pembelajaran santri
hanya dijadikan objek dan harus tunduk dan patuh kepada kiainya. Aliran kedua,
aliran religius-rasional implementasinya pada pondok pesantren modern, perguruan tinggi Islam,
karena di pondok-pondok pesantren
modern dan perguruan tinggi tersebut kurikulumnya memuat
semua disiplin ilmu yang dianggap penting dan perlu untuk dipelajari. Sedangkan
aliran Pragmatis, juga umumnya di pondok
pesantren. Di pondok-pondok tertentu ada yang khusus mempersiapkan
santrinya mempunyai skill dan bekal kemandirian dengan menjadi
pengusaha, berdagang dan bahkan ada juga yang secara khusus mempersipkan
santrinya menjadi da’i, mu’allim, yang siap diterjunkan ke masyarakat.
Dalam ruang realitas, para tokoh-tokoh Islam klasik seperti apa yang telah
ditulis oleh Ridla boleh membagi aliran pemikiran pendidikan kedalam tiga
aliran, namun secara konsep pendidikan Islam tidak mengenal aliran-aliran
seperti itu. Pandangan tersebut memperkuat pandangan kolonial yang bertujuan
memisahkan pendidikan agama dari pendidikan umum. Pada hakikatnya Islam tidak
membedakan atau membuat dikotomi antara pendidikan (ilmu) Islam dengan pendidikan
(ilmu) umum.
G. Penutup
Ada tiga kerangka umum filsafat pendidikan Islam yakni: ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ketiga term ini sangat penting dalam membentuk
paradigma pendidikan Islam. Secara sederhana, ontologi pendidikan Islam
menekankan pada proses pembentukan dan pemberdayaan kemanusiaan. Sedangkan
epistemologi beorientasi pada bagaimana membangun paradigma pendidikan Islam
yang tetap sesuai dengan al-Qur’an dan hadith. Dengan berlandaskan kerangka filsafat pendidikan Islam ini maka
diharapkan potensi intelektual dan spritual manusia itu tumbuh dengan baik
sehingga tercipta manusia super yang mempunyai kecerdasan spritual sekaligus
emosional-spritual.
Ada tiga aliran filsafat pendidikan Islam yang dikonstruksi dari pandangan
para tokoh tentang pandangan mereka terhadap ruang lingkup pengetahuan
pendidikan Islam itu sendiri. Yaitu aliran koservatif-agamis-tekstualis, aliran
religius-rasional dan aliran pragmatis. Ketiga aliran ini mempunyai karakteristik
yang berbeda baik dari metode, fungsi, tujuan.
DAFAR PUSTAKA
Attas, al
Naquib Syed Muhammad, Konsep
Pendidikan Dalam Islam, terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984
Azra,
Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999
Freire, Paulo,
Politik Pendidikan Kebudayaan Ekuasaan Dan Pembebasan,Ter. Agung Prihantoro,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007
Hadi, Hardono,
Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta : Kanisus, 1994
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Jogyakarta: Arruz Media,
2007
Kattsoff O, Louis, Pengantar
Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992
Langgulung,
Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: al Ma’arif,
1980
Nasution,
Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1985
Nata, Abuddin,
filsafat pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005
Priatna, Tedi,
Reaktuaisasli Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004
Qomar, Mujamil, Epistemologi
Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta:
Erlangga, 2007
Qardhawi,
Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, Terj. Bustami A,
Gani et.al, Jakarta: Bulan Bintang, 1980
Ramayulis,
Nizar, Syamsul, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan Dan
Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2010
Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002
Suwarno, Wiji,
Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jogyakarta: Arruz Media, 2006
Salam,
Burhanuddin, Logika materiil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Reineka
cipta, 1997
Suriasumantri S, Jujun, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006
Tafsir, Ahmad,
Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Yunus, H. A, Filsafat
Pendidikan, Bandung:CV. Citra Sarana Grafika. 1999
Nizar,
Syamsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Zuhairini,
dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
* Makalah ini, diseminarkan sebagai tugas Mata
Kuliah: Filsafat Pendidikan Islam, Program
Magister (S2) IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dosen Pengampu Prof.Dr.Abd. Haris, M.Ag.
[1] Paulo, Freire,
Politik Pendidikan Kebudayaan Ekuasaan Dan Pembebasan,Ter. Agung
Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), 191
[2]Ramayulis, Syamsul, Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan Dan Pemikiran Para Tokohnya,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2010), 83
[4] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 3
[6] Tedi,,
Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2004), 1
[10] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam
(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 2.
[11] Syed Muhammad al Naquib al Attas, Konsep
Pendidikan Dalam Islam, terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984), 52.
[12] Ibid, 63.
[14] Yusuf al Qardhawi, Pendidikan Islam
dan Madrasah Hasan al Banna, terj. Bustami A, Gani et.al, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), 157.
[16] Ibid, 14
[17] Ibid, 15.
[18] Ibid, 23.
[19]
Louis O, Kattsoff, Pengantar
Filsafat, Terj.Soejono Soemargono (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2004), 185
[25]
Metode bayani, yaitu suatu metode yang bertumpu pada teks, metode burhani yaitu suatu metode yang mengedepankan penalaran analitis-kritis
dan metode ’irfani, yaitu metode yang banyak mendasarkan pada intuisi.
[26]
Mujammil, Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari
Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2007), 272
[31] Burhanuddin, Salam, Logika materil; Filsafat
Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Reineka cipta,
1997), 168
[33] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998), 234
[37] Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, terj. Mahmud Arif (Yogyakartat:
Tiara Wacana, 2002) , 89.
0 komentar:
Posting Komentar