Minggu, 25 Agustus 2013




BUKAN NEGERI PEMALU


Oleh: Siful Arifin*
Konon, negeri ini negeri agamis, negeri agraris, dan juga negeri paling etis. Hari ini, negeri ini sudah menjadi negeri amis, negeri para pengemis dan juga negeri paling apatis.
Lihat saja, berapa banyak darah berceceran di setiap sudut negeri. Makhluk-makhluknya kelaparan kekurangan nasi dan makanan bergizi. Pemimpinnya tak perduli dengan rakyatnya sendiri.Masihkah negeri ini diberkati oleh sang ilahi. Semoga saja kasih sayang-NYA tetap meliputi. Sehingga bumi pertiwi ini tetap tegak berdiri.
Masyarakatnya berprofesi sebagai pencuri sedangkan para elitnya mempunyai tabi’at melakukan korupsi. Keduanya sama-sama perilaku merugi. Yang pertama membabat diri yang kedua merobek negeri. Inilah potret negeri yang kita cintai. Pemandangan memalukan selalu menjadi sajian setiap hari.
Entah kapan bangsa ini bisa menyadari dan memperbaiki perilakunya sendiri. Sedangkan rasa malu tidak lagi menjadi hiasan diri bagi negeri yang katanya religius ini.
Nabi pernah bertutur” iman dan malu itu berpasangan tak terpisahkan, jika hilang yang satu maka hilanglah yang lain”. Nampaknya masyarakat negeri ini sudah kehilangan iman sekaligus rasa malunya.
Perhatikan saja, berapa banyak para politisi dan birokrasi di negeri ini melakukan korupsi, kolusi dan nepotisasi serta ingkar janji tanpa henti. Mereka tak pernah merasa malu “aurat” perilaku tercelanya diketahui . Lebih parah lagi, mereka yang sudah masuk jeruji besi tetap menerima gaji dan mengaku diri sebagai orang yang suci. Masihkah ada iman dan rasa malu dalam pribadi-pribadi yang demikian ini.
Jika korupsi dan mencuri sudah menjadi tradisi dan profesi, tak pantaslah kita mengaku suci atau mengaku diri Islami dengan cara memakai peci dan cadarnya “ummi” dalam persidangan korupsi.
Bandingkan dengan negara Barat yang dalam pandangan masyarakat kita penuh kemaksiatan atau perilaku kesehariannya sering kita kecam. Belanda misalnya, Perdana Menterinya, Mark Rutte, dan kabinetnya mengundurkan diri karena merasa tak mampu lagi menangani krisis politik yang menimpa negaranya.(BBC Indonesia 23/04).
Demikian juga, Perdana Menteri Yunani, November 2011, dia mundur lantaran merasa tak mampu mengatasi krisis utang di negaranya. Jepang, mungkin salah satu Negara Asia yang sangat tinggi budaya malunya. Sudah banyak perdana menterinya mengundurkan diri. Pada Juni 2010 lalu, perdana menterinya mundur karena merasa tak mampu lagi memenuhi janji politiknya.
Bagi bangsa “Barat” mundur dari sebuah jabatan merupakan tindakan yang mulia jika merasa sudah tidak mampu lagi mengemban amanah yang dipercayakan di pundaknya. Namun bagi para politisi kita mengundurkan diri merupakan bencana dan hina. Oleh karena itu, mesti harus dipertahankan sekuat-kuatnya. Inilah potret bahwa ”budaya malu” sudah tidak lagi tersemat dalam dada “bangsa” kita. Tapi sudah pindah kesana, Negara yang jauh nan penuh “tatakrama”. Mungkin Amerika dan sekutu-sekutunya. Demikianlah, rasa malu menjadi semakin langka di negeri kita.
Supaya malu
Beberapa hari yang lalu KPK meluncurkan empat model baju baru yang harus dipakai oleh para tahanan KPK. Di belakang baju itu bertuliskan “Tahanan KPK”. Dengan tegas salah satu wakil ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan bahwa setiap tahanan KPK wajib menggunakan baju tersebut kemanapun dan di manapun kecuali ketika dalam persidangan. Menurutnya, itu bagian dari menciptaan efek jera bagi koruptor.
Pertanyaannya. Cukup efektifkah baju bertuliskan “Tahanan KPK” tersebut untuk membuat jera dan malu para pelakunya.
Dalam pandangan penulis. Penjara berikut atributnya, seperti yang sudah diberlakukan sekarang ini terbukti tidak membuat jera dan malu para pelaku dan calon pelaku lainnya. Untuk itu, perlu kiranya KPK membuat metode hukuman yang lebih ampuh dan mengena. Misalnya, membuat ruang penjara yang tembus pandang di tengah pusat keramaian. Hal ini bertujuan agar masyarakat tahu wajah para pencolengnya. Atau juga KPK bisa memasarkan para tahanannya dalam acara rutin  mingguan, bulanan ataupun tahunan untuk memperkenalkan para tahanannya pada setiap khalayak bangsa Indonesia.
Sudah saatnya, KPK dan beberapa institusi hukum lainnya tidak hanya membuat terobosan bagaimana cara melakukan penangkapan terhadap para koruptor dan pelaku kejahatan lainnya, tapi juga bagaimana hukuman yang dikenakan bisa menimbulkan efek jera. Jika tidak, maka bibit-bibit kejahatan akan tetap terus bermunculan. Karena penjara bagi mereka bukanlah sesuatu yang menakutkan. Penjara hanya ruang lain untuk mencari ketenangan. Begitulah kira-kira alibinya.
Dalam kenyataannya, para pelaku kejahatan lebih memilih hukuman penjara sebagai sangsi individual dari pada dikejar-kejar awak media sebagai sangsi sosial. Mereka tidak akan pernah malu karena dipenjara tapi mereka akan merasa malu jika dicela karena perilaku menyimpangnya. Jadi, memberi hukuman dengan penjara bukanlah tujuannya. Tapi, bagaimana memberikan efek jera kepada para pelakunya merupakan salah satu hikmahnya.
Namun, jika dengan begitu mereka tetap saja pada perbuatannya. Maka biarkan saja mereka hidup di alamnya. Kelak mereka juga akan menyadarinya bahwa mereka bukan manusia tapi hewan yang berbentuk manusia. Karena yang membedakan manusia dan hewan adalah rasa malunya. Begitulah Nabi berpesan pada kita.
Untuk itu, silahkan para penegak hukum mau yang mana?mencari metode hukuman yang baru atau tetap dengan metode yang lama. Atau memilih hukuman mati saja. Semoga bermanfaat.
* Akademisi IAIN Sunan Ampel Surabaya
 Bukan Negeri Pemalu, Kalteng Pos, 21 Juli, 2012

0 komentar:

Posting Komentar

SI PAUL'S LIBRARY

Foto saya
Sampang, Jawa timur, Indonesia
Seorang manusia yang akan terus belajar di kampus kehidupan tanpa batas waktu kecuali tuhan sudah merindukan

Categories

Laman

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Recent Posts

Popular Posts

Arsip