BUKAN NEGERI PEMALU
Oleh: Siful Arifin*
Konon, negeri
ini negeri agamis, negeri agraris, dan juga
negeri paling etis. Hari ini, negeri ini sudah menjadi negeri amis, negeri para
pengemis dan juga negeri paling apatis.
Lihat saja, berapa
banyak darah berceceran di setiap sudut negeri. Makhluk-makhluknya kelaparan
kekurangan nasi dan makanan bergizi. Pemimpinnya tak perduli dengan rakyatnya
sendiri.Masihkah negeri ini diberkati oleh sang ilahi. Semoga saja kasih
sayang-NYA tetap meliputi. Sehingga bumi pertiwi ini tetap tegak berdiri.
Masyarakatnya
berprofesi sebagai pencuri sedangkan para elitnya mempunyai tabi’at melakukan korupsi.
Keduanya sama-sama perilaku merugi. Yang pertama membabat diri yang kedua
merobek negeri. Inilah potret negeri yang kita cintai. Pemandangan
memalukan selalu menjadi sajian setiap hari.
Entah
kapan bangsa ini bisa menyadari dan memperbaiki perilakunya sendiri. Sedangkan rasa
malu tidak lagi menjadi hiasan diri bagi negeri yang katanya religius ini.
Nabi
pernah bertutur” iman dan malu itu berpasangan tak terpisahkan, jika hilang
yang satu maka hilanglah yang lain”. Nampaknya masyarakat negeri ini sudah
kehilangan iman sekaligus rasa malunya.
Perhatikan
saja, berapa banyak para politisi dan birokrasi di negeri ini melakukan
korupsi, kolusi dan nepotisasi serta ingkar janji tanpa henti. Mereka tak
pernah merasa malu “aurat” perilaku tercelanya diketahui . Lebih parah lagi,
mereka yang sudah masuk jeruji besi tetap menerima gaji dan mengaku diri
sebagai orang yang suci. Masihkah ada iman dan rasa malu dalam pribadi-pribadi
yang demikian ini.
Jika
korupsi dan mencuri sudah menjadi tradisi dan profesi, tak pantaslah kita
mengaku suci atau mengaku diri Islami dengan cara memakai peci dan cadarnya
“ummi” dalam persidangan korupsi.
Bandingkan
dengan negara Barat yang dalam pandangan masyarakat kita penuh kemaksiatan atau
perilaku kesehariannya sering kita kecam. Belanda misalnya, Perdana Menterinya,
Mark Rutte, dan kabinetnya mengundurkan diri karena merasa tak mampu lagi menangani
krisis politik yang menimpa negaranya.(BBC Indonesia 23/04).
Demikian juga,
Perdana Menteri Yunani, November 2011, dia mundur lantaran merasa tak mampu
mengatasi krisis utang di negaranya. Jepang, mungkin salah satu Negara Asia yang
sangat tinggi budaya malunya. Sudah banyak perdana menterinya mengundurkan
diri.
Pada Juni 2010
lalu, perdana menterinya mundur karena merasa tak mampu lagi memenuhi janji
politiknya.
Bagi bangsa “Barat”
mundur dari sebuah jabatan merupakan tindakan yang mulia jika merasa sudah
tidak mampu lagi mengemban amanah yang dipercayakan di pundaknya. Namun bagi
para politisi kita mengundurkan diri merupakan bencana dan hina. Oleh karena
itu, mesti harus dipertahankan sekuat-kuatnya. Inilah potret bahwa
”budaya malu” sudah tidak lagi tersemat dalam dada “bangsa” kita. Tapi sudah
pindah kesana, Negara yang jauh nan penuh “tatakrama”. Mungkin Amerika dan
sekutu-sekutunya. Demikianlah, rasa malu
menjadi semakin langka di negeri kita.
Supaya malu
Beberapa hari
yang lalu KPK meluncurkan empat model baju baru yang harus dipakai oleh para
tahanan KPK. Di belakang baju itu bertuliskan “Tahanan KPK”. Dengan tegas salah
satu wakil ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan bahwa setiap tahanan KPK wajib
menggunakan baju tersebut kemanapun dan di manapun kecuali ketika dalam
persidangan. Menurutnya, itu bagian dari menciptaan efek jera bagi koruptor.
Pertanyaannya.
Cukup efektifkah baju bertuliskan “Tahanan KPK” tersebut untuk membuat jera dan
malu para pelakunya.
Dalam
pandangan penulis. Penjara berikut atributnya, seperti yang sudah diberlakukan sekarang
ini terbukti tidak membuat jera dan malu para pelaku dan calon pelaku lainnya. Untuk
itu, perlu kiranya KPK membuat metode hukuman yang lebih ampuh dan mengena.
Misalnya, membuat ruang penjara yang tembus pandang di tengah pusat keramaian.
Hal ini bertujuan agar masyarakat tahu wajah para pencolengnya. Atau juga KPK bisa
memasarkan para tahanannya dalam acara rutin mingguan, bulanan ataupun tahunan untuk
memperkenalkan para tahanannya pada setiap khalayak bangsa Indonesia.
Sudah saatnya,
KPK dan beberapa institusi hukum lainnya tidak hanya membuat terobosan
bagaimana cara melakukan penangkapan terhadap para koruptor dan pelaku
kejahatan lainnya, tapi juga bagaimana hukuman yang dikenakan bisa menimbulkan
efek jera. Jika tidak, maka bibit-bibit kejahatan akan tetap terus bermunculan.
Karena penjara bagi mereka bukanlah sesuatu yang menakutkan. Penjara hanya
ruang lain untuk mencari ketenangan. Begitulah kira-kira alibinya.
Dalam
kenyataannya, para pelaku kejahatan lebih memilih hukuman penjara sebagai
sangsi individual dari pada dikejar-kejar awak media sebagai sangsi sosial. Mereka
tidak akan pernah malu karena dipenjara tapi mereka akan merasa malu jika
dicela karena perilaku menyimpangnya. Jadi, memberi hukuman dengan penjara
bukanlah tujuannya. Tapi, bagaimana memberikan efek jera kepada para pelakunya
merupakan salah satu hikmahnya.
Namun, jika dengan
begitu mereka tetap saja pada perbuatannya. Maka biarkan saja mereka hidup di
alamnya. Kelak mereka juga akan menyadarinya bahwa mereka bukan manusia tapi
hewan yang berbentuk manusia. Karena yang membedakan manusia dan hewan adalah
rasa malunya. Begitulah Nabi berpesan pada kita.
Untuk itu,
silahkan para penegak hukum mau yang mana?mencari metode hukuman yang baru atau
tetap dengan metode yang lama. Atau memilih hukuman mati saja. Semoga
bermanfaat.
*
Akademisi IAIN Sunan Ampel Surabaya
Bukan
Negeri Pemalu, Kalteng Pos, 21 Juli, 2012
0 komentar:
Posting Komentar