PENEGAKAN HUKUM TANPA NALAR
Akhir-akhir
ini dunia penegakan hukum kita dalam sorotan. Jauhnya nilai-nilai keadilan
dalam penegakan hukum kita seringkali memantik masyarakat untuk menggunakan
“hukum alternatif”. Masyarakat sering kali menjadikan tindakan-tindakan anarkis
dan main hakim sendiri sebagai hukum alternatif karena tidak tegaknya hukum
formal.
Kualitas
penegakan hukum (law enforcement) yang berlangsung di atas rekayasa
kepentingan sudah menjadi banalitas yang luar biasa di negeri ini. Tak pelak
hukum hanya akan tegak pada siapa yang lemah dan hukum menjadi tak berdaya di
hadapan para penguasa. Hukum juga akan betekuk lutut di hadapan si kaya.
Kasus
penegakan hukum yang paling heboh pada minggu-minggu terakhir ini adalah
kembalinya kasus korupsi wisma atlet dan Hambalang ke meja hijau”pengadilan”
yang “katanya”-meminjam bahasa Nazaruddin- melibatkan sebagian besar kader
partai penguasa.
Mindo
Rosalina atau yang sering dipanggil Rosa salah satu tersangka kasus korupsi bernyanyi
dengan merdu terkait dengan siapa saja yang terlibat dalam kongkalikong yang
merugikan negara tersebut. Dengan tegas rosa menyebut satu persatu siapa saja
yang ikut menikmati uang panas tersebut.
Rosa
sudah bersaksi. Namun para penegak hukum kita masih berdiam diri, seakan mereka
tak punya nyali. Akankah penegakan hukum di negeri ini masih dapat dibeli
sementara setumpuk bukti dan sejumlah saksi sudah sangat jelas sekali.
Kurang
cukup buktikah sebuah percakapan antara Rosa dan Angelina Sondakh (salah satu
oknum yang diduga terlibat korupsi) lewat Blackberry Messenger (BBM). Dengan
berbagai kata sandi seperti apel Malang, apel Washington, semangka, pelumas (oli)
dan berbagai kata sandi lain uang rakyat itu dipolitisasi. Tentunya, semua ini
untuk menghilangkan jejak diri dan menyulitkan pak hakim dan pak polisi untuk
mengidentifikasi siapa yang melakukan korupsi.
Bukti
sudah ada dan para saksi sudah bicara, tapi anehnya, para kader partai penguasa-di
hadapan publik di depan media-mereka para kader terbaik pendukung korupsi itu
selalu saja beralibi bahwa tuduhan itu karangan belaka dan itu merupakan fitnah
dan tidak benar. Sungguh luar biasa pembelaan mereka terhadap para koruptor. Yang
bener saja, mereka ini mau memberantas korupsi atau melestarikannya!.
Secara
logika, apakah bukti-bukti dan kesaksian mantan karib mereka yang duduk di
kursi pesakitan itu tidak punya relevansi dengan berbagai bukti lainnya.? Apa
hanya karena ada inkonsistensi dari para saksi, semua keterangan para saksi dan
berbagai alat bukti itu menjadi tak berarti.
Masih
ingat dengan pernyataan Nazaruddin pada awal kasus korupsi wisma atlet itu
mencuat kepermukaan. Dengan tegas dan sigap Nazar mengatakan bahwa fakta hukum
itu bukan “katanya-katanya”. Tapi akhirnya, dia sendiri mengakui bahwa korupsi
itu benar-benar terjadi dan melibatkan mitranya diberbagai institusi. Apakah ini
bukan sebuah inkonsistensi? Dari penolakan ke pengakuan. Jika begitu, dimana logika
inkonsistensi itu bermuara bagi mereka para kader penguasa.
Memang,
para politisi kita sangat pintar bersilat lidah. Mereka akan menolak
inkonsistensi jika itu merugikan namun disisi lain mereka akan mengamini
inkonsistensi jika itu dapat menutup aib dan bersifat menguntungkan.
Jika
demikian, apakah penolakan yang dilakukan oleh mereka yang namanya disebut oleh
Nazar dan Rosa dalam kesaksian dan dalam berita acara persidangan (BAP) nya itu
akan mengalami nasib yang sama dengan keduanya.? Kita tunggu saja, ‘proses
hukum yang akan membuktikannya’. Kalimat Itulah yang seringkali dikatakan oleh
para kader partai penguasa. Padahal sudah jelas-jelas pengakuan dan segala
bukti yang ada sudah dipaparkan di depan hakim yang mulia. Lantas bukti apa
lagi yang diminta? aneh bukan!
Kenapa
hanya untuk memeriksa mereka saja sulitnya bukan main? apa lagi menetapkan
mereka sebagai tersangka. Entah kepada
siapa hukum di negeri ini akan tegak? Pada mereka para penguasa atau kepada
kita para rakyat jelata?
Menimbang
Keadilan
Bandingkan
dengan kasus para pencuri sandal, kelapa, semangka, pisang, merica, dll. Proses
hukum terhadap mereka berlangsung cepat dan singkat. Dan vonis hukumannya pun kadang
tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukannya. Mereka rata-rata divonis
dengan hukuman penjara sesuai dengan bunyi pasal yang sering kali dalam
pembuatannya sarat rekayasa.
Berbeda
dengan para koruptor yang mencuri uang negara dengan jumlah yang tidak sedikit.
Proses hukum terhadap mereka cenderung lamban dan terkesan berbelit-belit. Jika
kemudian mereka divonis bersalah, paling lama hukumannya tiga sampai lima tahun
penjara. Belum lagi hukumannya akan berkurang jika ada uang tebusan ditambah
adanya remisi dari negara.
Di
samping itu, mereka (para koruptor) akan mendapatkan pelayanan istemewa di
dalam penjara. Sedangkan masyarakat biasa akan semakin sengsara. Jika demikian
masihkah penjara berfungsi untuk membuat para pelaku kejahatan itu jera. Dan masih
adakah keadilan di negeri ini?
Entah
apa yang menjadi pertimbangan para hakim dan aparat hukum kita. Masih berlakukah
sebuah slogan justice for all dan masih adakah perlakuan yang sama di
depan hukum?. Nampaknya kata-kata itu hanya pemanis bibir saja, jika kita
melihat realitas penegakan hukum di negara kita tercinta. Aduh....! capek
menjadi warga negara Indonesia. Seloroh temanku yang sudah mulai putus asa.
Hukum
memang sangat kejam pada mereka yang tak punya kuasa dan harta. Padahal mereka
para orang miskin itu tak akan pernah suka untuk mencuri seandainya masih tersedia sesuap nasi
untuk hari ini.
Hukum
semestinya tidak hanya merujuk pada apa yang ada diteks saja, tapi penegakan
hukum juga harus mempertimbangkan latarbelakang kenapa seseorang itu melakukan
tindakan a-moral. Jika para pencuri semangka, pisang dan merica mencuri karena
keterpaksaan untuk kebutuhan makan maka berbeda dengan para koruptor yang
mencuri uang negara karena ketamakan.
Kasus para
koruptor dan para pencuri “nasi kehidupan” di atas dapat dijadikan cermin bagaimana hukum di negeri ini ditegakkan. Tidak
tajamnya penegakan hukum terhadap kasus-kasus besar yang menimpa bangsa ini
semakin membuat rakyat tersayat hatinya. Sementara mereka yang berada dalam
barisan penguasa semakin keras saja tertawanya. (Sumber:
Kalteng post 24 Januari 2012
Oleh: Siful Arifin
Penulis adalah alumnus pasca Sarjana
IAIN Sunan Ampel Surabaya, mantan ketua umum Himpunan Mahasiswa Sampang
(HIMASA) Surabaya.
Kalteng Pos, 24 Januari, 2012
0 komentar:
Posting Komentar